Kumpulan Makalah Terlengkap, Tutorial Dapodik, Tutorial PMP, Perangkat Pembelajaran Kurikulum KTSP 2006 Dan KTSP 2013 SD

Search

Thursday, January 10, 2019

Upacara Saparan “Yaqowiyyu”


Upacara Saparan “Yaqowiyyu”

Diajukan untuk memenuhi  salah satu tugas mata pelajaran
Sejarah Kebudayaan Islam


 








  

Di Susun Oleh :

Fitri Sundadari
Kelas IX - E



PEMERINTAH KABUPATEN GARUT
DEPARTEMEN AGAMA
 MTsN 1 CISEWU
                                                             2016






A.    Asal-usul Cerita Rakyat Kyai Ageng Gribig

Kyai Ageng Gribig yang bernama asli Wasibagno Timur, merupakan keturunan Prabu Brawijaya ke-5 dari Majapahit. Ia adalah seorang ulama besar yang memperjuangkan Islam di pulau Jawa, tepatnya di desa Jatinom Klaten. Misinya adalah mengemban dawuh dari pendahulu tokoh utama atau dari kalangan walisongo, tujuannya meninggalkan dari kerajaan adalah ingin mengemban dakwah Islam dan juga mempunyai keinginan menjunjung tinggi Bangsa dan Negara.
Kyai Ageng Gribig munajat kepada Allah, Kyai Ageng Gribig tahan dan kuat bersemedi, maka terkabulah permohonannya dan mendapatkan ilham yang jelas dalam pendengarannya. Turunlah atau berhentilah lalu ia dari persemediannya, lalu petunjuk atau ilham yang diterima itu dilaksanakan. Petunjuk itu berbunyi ” sirolumakuwa saka girikene ngulana aja pati-pati sira, pegat anggonmu lumaku lamun during tinemu uwit jati sak loran kang ana ereng-ereng merapi”, yang artinya berjalanlah anda dari Giri berjalan ke barat anda jangan sekali-kali berhenti apabila belum menemukan pohon jati (dua pohon jati) dilereng gunung Merapi (Jatinom sekarang). Setelah mendapat petunjuk itu dia menjalankan, menemukan pohon jati yang masih muda dan yang sangat tinggi, setelah didekati hilang. Akhirnya salah satu pengikut memberi petunjuk cobalahKyai menika sitinipun radi inggil yang artinya Kyai, tanahnya itupun agak tinggi, setelah beliau melihat dari tanah yang lebih tinggi, ternyata pohon tersebut kelihatan mengeluarkan cahaya yang sangat menyilaukan, dia sambil menyabda (memberi fatwa) bila suatu saat perkembangan jaman disini saya beri nama Njinggil (tanah yang lebih tinggi) hingga sampai sekarang disebut desa Njinggil diutara Jatinom. Akhirnya setelah beliau menyabda dengan nama kampung atau dukuh Njinggil, Kyai Ageng Gribig berjalan kaki ke pohon tersebut untuk bertapa dipohon jati tersebut hingga beberapa tahun lamanya. Lalu pada saat itu beliau menerima ilham atau wangsit atau mukjizat dari sang Maha Kuasa, yang berbunyi karena jati ini masih muda tebanglah untuk mendirikan masjid. Lalu beliau melkasanakan ilham tersebut yaitu mendirikan sebuah masjid dan sekaligus mendirikan sebuah desa yang diberi nama Jatinom (Jati enom) yang artinya jati muda.
Jatinom adalah nama suatu kecamatan di Kabupaten Klaten yang terletak pada jalur utama yang menghubungkan antara Klaten dan Boyolali. Di Jatinom setiap bulan sapar dalam penanggalan Jawa atau Islam diadakan sebaran apem atau Yaqowiyyu. Tradisi ini dilaksanakan pada hari Jum’at di bulan Sapar yang berada di masjid besar Jatinom. Orang Jatinom biasa menjadikan perayan ini sebagai ajang bersilaturahmi kesanak saudara. Pada saat itu setiap rumah membuat kue apem, yang nanti disajikan pada tamu yang datang. Tradisi ini konon bermula dari cerita tentang Kyai Ageng Gribig yang memberi kue apem kepada muridnya, tetapi jumlahnya hanya sedikit sehingga agar adil kue apem tersebut dilemparka ke muridnya untuk dibagi (Sumarta Sastra dan Indarjo: 1953). Bahwa asal usul cerita rakyat Kyai Ageng Gribig saat dakwah beliau sangatlah mengena pada masyarakat dan pada saat itu masih memeluk agama Hindu Budha. Syiar beliau tidak hanya di daerah Klaten saja tetapi menyebar luas sampai ke luar daerah Boyolali dan Surakarta. Kyai Ageng Gribig sangat pandai dalam Strategi dakwah, hingga masyarakat pada waktu itu masih kental dengan keyakinan pada pohon dan batu besar, menjadi beriman kepada Allah SWT. Keluhuran serta jasa beliau senantiasa terkenang dan melekat pada masyarakat terutama yang tinggal di Daerah Klaten dan Boyolali.
Banyak peninggalan-peninggalan beliau yang menjadi bukti sejarah bahwa Kyai Ageng Gribig adalah ulama besar yang berhasil dalam dakwahnya. Salah satu peninggalannya adalah Masjid alit Jatinom dan Masjid besar Jatinom yang dijadikan sebagai pusat belajar mengajar, serta tongkat beliau yang sampai sekarang dijadikan sebagai tongkat khotib ketika Sholat Jum’at dan juga kolam wudzu yang terletak 50 meter dari masjid. Selain peninggalan yang berupa benda, beliau juga meninggalkan tradisi ritual yang disebut perayaan tradisional “Ya Qowiyyu”. Hingga saat ini tradis tersebut tetapa berlangsung dan dihadiri oleh puluhan ribu jama’ah yang sebagian besar datang dari berbagai wilayah di Jawa Tengah dan DIY. Kedatangan mereka pada acara tersebut biasanya diiringi dengan harapan agar mendapat apem (sejenis kue panggang terbuat dari tepung beras dan rasany manis) yang konon memiliki berkah kekuatan supranatural tertentu.
Perayaan “Ya Qowiyyu” pertama kali dilakukan Kyai Ageng Gribig yaitu setahun sekali (kalender Jawa) bulan Sapar, tanggal 12 keatas dan 20 kebawah yang jatuh pada hari Jum’at dan dilaksanakan 1 tahun sekali, sewaktu pelaksanaan atau puncak peringatan yaitu sehabis melaksanakan Sholat Jum’at, sebagai ungkapan rasa syukur atas pemberian nikmat Allah SWT. Rasa syukur itu diungkapkan dalam puji-pujian, berupa kalimat dala bahasa Arab “Ya Qowiyyu” yang artinya Allah Yang Maha Perkasa (Kuat). Kalimat itu dilafalkan berkali-kali akhirnya masyarakat menamai prosesi adat itu sebagi “Ya Qowiyyu” yang merupakan wujud sedekah berua makanan kepada masyarakat luas. Konon Kyai Ageng Gribig bersama Sultan Agung sering sholat tarawih dan jum’at di Mekkah. Suatu hari, sepulang dari tanah suci meraka membawa oleh-oleh tiga buah apem. Akan tetapi, karena jama’ah pada waktu itu sangtlah banyak maka tiga apem itu dicampurkan dalam apem yang dibuat sendiri untuk dibagikan oleh-oleh. Meskipun berkali-kali ditambah bahannya, akan tetapi jumlah Apem itu belum mencukupi jumalh jama’ah yang hadir. Akhirnya Kyai Ageng Gribig memutuskan untuk menyebar apem itu seusai sholat jum’at didepan masjid besar untuk diperebutkan. Siapa yang mendapatkan apem itu, merekalah yang mendapat berkah.
Sejak itu Kyai Ageng Gribig berpesan agar Jama’ah menyisihkan sebagian rejeki untuk bersedekah dan memberi makan pada orang miskin. Pesan itu diwujudkan dalam bentuk perayaan “Ya Qowiyyu” yang terus berlangsung sampai sekarang. Meskipun beliau sudah wafat tradisi “Ya Qowiyyu” masih tetap dilaksanakan bahkan dari tahun ke tahun, pengunjung yang datang dalam ritual tersebut makin banyak. Karena halaman masjid besar tidak bisa menampung pengunjung, maka beberapa tahun ini pemerintah setempat mengalihkan tempat perayaan kepinggiran sungai yang terdapat kolam. Kolam itulah yang konon adalah tempat wudzu Kyai Ageng Gribig beserta santrinya yang berjarak 50 meter dari masjid satu minggu sebelum perayan “Ya Qowiyyu” dibuka secara resmi, wilayah Jatinom memang tampak ramai oleh orang yang khusus datang untuk menyaksikan rangkaian perayaan tradisional yang sudah berlangsung turun temurun itu. Acara penyebaran apem diawali dengan pembacaan Tahlil dan Do’a serta acara ritual lainnya. Panitia menyediakan dua beton setinggi 4 meter luas 2x2  meter persegi sebagai pusat penyebaran apem. Sebanyak sepuluh orang di masing-masing menara yang mengenakan kaos putih ditugaskan melemparkan apem ke tengah-tengah kerumunan masa. Orang-orang mengacung-acungkan tangan mereka kearah menara agar tempat mereka berdiri di beri apem dan begitu apem jatuh kearah mereka tanpa sungkan-sungkan mereka saling dorong dan berebutan untuk mendapatkannya. Sering kali apem yang semula utuh dilantas hancur tatkala menjadi bahan rebutan. Ada yang kreatif menggunakan jaring yang diberi galah untuk menangkap apem yang berhamburan. Apem yang disebar dalam perayaan “Ya Qowiyyu” sampai saat ini seberat tiga ton. Begitulah tradisi “Ya Qowiyyu” yang digagas Kyai Ageng Gribig, yang sampai saat ini masih diyakini oleh masyarakat setempat sebagai perayaan yang mendatangkan berkah bagi kehidupan mereka.
B.     Nilai-nilai Dalam Cerita Rakyat Kyai Ageng Gribig
Nilai-nilai yang terkandung dalam cerita rakyat Kyai Ageng Gribig adalah sebagai berikut :
1.      Nilai Keagamaan
Cerita rakyat Kyai Ageng Gribig merupakan gambaran pemasukan nilai-nilai agama dalam suatu masyarakat yang masih mempercayai adanya animisme. Cerita rakyat Kyai Ageng Gribig dalam konteks budaya memiliki arti penting sebagai dalam penyiaran agama Islam.
2.      Nilai Sosial
Dalam hal ini adalah moral yang sesuai dengan ajaran agama Islam. Hal tersebut antara lain dapat dibina melalui pengajian atau ceramah mengenai agama Islam. Dimana isi atau inti pesan yang disampaikan adalah menganjurkan manusia untuk berbuat kebajikan. Selain pembinaan moral juga memantapkan aset budaya daerah yaitu dengan adanya upacara tradisional Yaqowiyyu dapat meningkatkan silaturahmi.
3.      Nilai Kepahlawanan
Kyai Ageng Gribig dikenang oleh seluruh lapisan masyarakat sebagai manusia yang berjiwa besar dan besar pula jasanya dalam mengajak untuk beriman kepada Allah SWT.
C.    Fungsi Masyarakat Pemiliknya
Cerita rakyat atau juga yang disebut mitos yang hidup dalam suatu masyarakat memberikan manfaat atau fungsi bagi masyarakat tersebut. Bagi masyarakat yang mempercayai mitos, mitos berarti sesuatu yang benar dan menajadi milik mereka yang berharga, karena merupakan sesuatu yang suci, bermakna dan menjadi contoh bagi kehidupan manusia. Itulah sebabanya mitos dianggap memberikan petuah bagi kehidupan masyarakat. Dan fungsi Cerita Kyai Ageng Gribig diantaranya adalah :
1.      Sebagai alat pencerminan angan-angan.
Cerita Kyai Ageng Gribig mencerminkan harapan dan keinginan masyarakat setempat untuk menajalani model kehidupan yang diidealkan dan ditampilkan dalam cerita lewat tokoh. Cerita Rakyat Kyai Ageng Gribig memiliki pesan moral yang ditujukan kepada masyarakat setempat agar meninggalkan kebiasaan memuja roh untuk kemudian beriman dan taqwa kepada Allah SWT.
2.      Sebagai alat pendidikan keagamaan.
Fungsi cerita rakyat Kyai Ageng Gribig sebagai alat pendidikan keagamaan yaitu pendidikan tentang aspek agama Islam, pendidikan dibidang politik yaitu politik dakwah Islam, pendidikan tentang seni budaya dan pendidikan sosial yang menurut agama Islam. Bahwa dalam cerita rakyat Kyai Ageng Gribig digambarkan sebagai tokoh yang taat beribadah, berusaha menyebarkan kebaikan untuk sesama dan mengajak manusia untuk meninggalkan budaya Atheis. Cerita rakyat Kyai Ageng Gribig menunjukkan sebagai fungsi alat pendidikan keagamaan melalui episode cerita pada saat Kyai Ageng Gribig membuka Jatinom yang dahulu berupa hutan dengan pertapaan dibawah pohon jati muda sehingga dinamakan Jatinom dan mendidik masyarakat Jatinom pada jalan Allah. Beliau senantiasa menyebut nama Allah SWT disetiap kesempatan dan jika akan melakukan kegiatan.    
3.      Sebagai pengawas agar norma-norma masyarakat dipatuhi.
Cerita rakyat Kyai Ageng Gribig tersirat adanya larangan dan aturan tentang yang harus dijalani manusia dan adanya anjuran kepada manusia hanya memohon kepada Allah SWT semata. Seperti diketahui konsep agama dipandang sebagai perangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia ghaib khususnya dengan Allah, mengatur hubungan manusia dengan manusia, mengatur hubungan manusia dengan lingkungan. Oleh karena itu cerita rakyat Kyai Ageng Gribig diceritakan dari generasi ke generasi adalah sebagai pengingat dan penggugah masyarakat untuk tidak meninggalkan agama.
4.      Sebagai alat kebudayaan.
Dengan adanya tradisi Saparan atau ”Ya Qowiyyu” dalam cerita rakyat Kyai Ageng Gribig di kecamatan Jatinom dilestarikan oleh masyarakat setempat dan dapat dijadikan budaya dalam setiap bulan Sapar masyarakat sekitar Jatinom sangat identik dan menjadi ciri khusus bahwa untuk  memperingati bulan Sapar, masyarakat membuat apem.
D.    Pelaksanaan Upacara Ritual-ritual Saparan
      Persiapan pelaksanaan upacara Saparan “Yaqowiyyu” dilaksanakan satu bulan sebelum perayaan Saparan. Diawali dengan pembentukan panitia khusus yaitu Pengelola dan Pelestari Peninggalan Ki Ageng Gribig Jatinom yang bekerjasama dengan instansi pihak terkait. Persiapan matang dari panitia terlihat pada satu minggu terakhir sebelum upacara penyebaran apem.
Upacara Saparan “Yaqowiyyu” dilaksanakan satu tahun sekali dalam kalender Jawa yaitu pada bulan Sapar pada hari Jumat. Dilaksanakan pada hari Jumat karena Ki Ageng Gribig juga melaksanakannya pada hari Jumat. Puncak acara ritual Saparan “Yaqowiyyu” adalah pada saat penyebaran apem usai sholat Jumat, dimulai jam 12.30 sampai dengan jam 14.30 WIB.
Tempat-tempat yang berkaitan dengan pelaksanaan Upacara Saparan “Yaqowiyyu” antara lain halaman Masjid Besar Jatinom untuk penyerahan gunungan apem dari Muspida kepada pengurus masjid. Gunungan apem kemudian dibawa ke kantor kecamatan untuk acara pembukaan upacara. Dimulai dari Kecamatan Jatinom dan berakhir di Masjid Besar Jatinom, Berbagai macam parade disuguhkan antara lain:
1.         Marching Band
Marcjing Band ini diisi dari Taman Kanak-Kanak Hingga Sekolah Menengah Kejuruan, berbagai macam gaya dan model.
2.         Reog
Seni tradisional dari budaya Indonesia yang bentuknya menyeramkan, biasanya berupa hewan, gambaran setan, dan lain sebagainya.
3.         Ondel-Ondel
Merupakan orang-orangan yang berbentuk sangat besar yang diadalamnya ada orang yang menjalanakanny, kalau di Betawi biasa digunakan untuk Khitanan, Perkawinan dan Acara Seni.
4.         Perkumpulan Pemuda dan Anak
Sekelompok anak kecil dan pemuda  yang berpakaian adat dari berbagai daerah di Indonesia dan kebudayaan lainnya.
Masih banyak lagi pertunjukan-pertunjukan yang disuguhkan didalam acara pembukaan Saparan ini yang lebih menarik.
Diawali dengan mobil dari Kepolisian Sektor Jatinom dilanjutkan dengan arak-arakan dan juga dikawal sejumlah aparat dari Polres Klaten. Serta tak lupa pemotongan pita oleh beliau Bapak  Jaka Purwanta, S.Sos. MM selaku Camat Jatinom.
Dua hal ini dilakukan 7 hari sebelum penyebaran apem. Upacara kedua adalah penyerahan kembali gunungan apem ke Masjid Besar Jatinom untuk disemayamkan dua hari sebelum acara inti. Upacara ketiga atau upacara inti bertempat di sendang Klampeyan. Tempat yang digunakan Ki Ageng Gribig berdiskusi bersama muridnya tentang masalah fiqih. Setelah sholat Jumat selesai gunungan apem siap untuk dibawa ke sendang Klampeyan diiringi pemeran tokoh Ki Ageng Gribig, istrinya, para sahabat dan muri-muridnya.
Di sendang Klampeyan lah tempat penyebaran apem dilaksanakan setelah dido’akan. Lokasi sendang Klampeyan adalah di bawah pekarangan Masjid Besar Jatinom, dekat dengan sungai kecil. Apem disebar dari menara kandang apem. Ada pula acara-acara yang menyertai upacara Saparan ini antara lain acara ziarah ke makam Ki Ageng Gribig pada malam setelah pemotongan tumpeng, acara pembacaan Al-Qur’an dan tahlil pada malam sebelum penyebaran apem, dan yang tidak dilupakan adalah acara untuk membersihkan lingkungan makam dan daerah kampung, dilaksanakan 7 hari sebelum penyebaran apem. Apem merupakan perlengkapan inti pada upacara Saparan “Yaqowiyyu” di Jatinom. Pada mulanya apem tidak dibentuk seperti saat ini. Pada masa Ki Ageng Gribig apem hanya dibagikan seperti biasa.
Namun seiring berkembangnya zaman dan waktu apem ditempatkan pada panjang ilang yang terbuat dari janur (daun pohon kelapa yang masih muda) dan pada jodang yaitu tempat makanan yang terbuat dari kayu dan diukir. Pada saat ini jodang yang dulunya digunakan untuk tempat apem sekarang digunakan untuk kenduri yang dilaksanakan oleh mayarakat. Saat ini apem diletakkan pada tandu. Penggunaan panjang ilang tidak berhenti, namun dibuat lebih kecil sebagai pengantar dua gunungan apem menuju sendang Klampeyan. Kedua gunungan apem desemayamkan di pendopo utara Masjid Besar, sedangkan apem yang ditaruh di dalam panjang ilang disemayamkan di makam Ki Ageng Gribig. Apem dibentuk menyerupai gunung sehingga disebut gunungan. Ada dua gunungan yang biasa disebut sebagai gunungan lanang dan gunungan wadon. Hal ini menyimbolkan Ki Ageng Gribing dan Nyi Ageng Gribig.
Apem juga pernah berbentuk singa betina yang disebut Nyau Kopek dan ular betina yang disebut Nyai Kasur. Konon keduanya adalah binatang kesayangan Ki Ageng Gribig. Bentuk-bentuk apem yang terus berkembang ini hanya untuk menembah semarak dan meriahnya upacara ini. Apem yang dulunya dibuat oleh istri Ki Ageng Gribig, kini apem dibuat oleh masyarakat. Apem yang dibutuhkan sangat banyak hingga mendapat kiriman dari berbagai daerah yang masih termasuk ahli waris dari Ki Ageng Gribig.
Apem dikirim dari berbagai daerah seperti Tumenggung, Demak, Magelang, Pati, Yogyakarta dan Solo. Apem yang diperlukan pada upacara Saparan ini mencapai sekitar 4,5 ton kue apem atau sekitar 38 ribu kue apem. Penyusunan gunungan apem itu juga ada artinya, apem disusun menurun seperti sate 4-2-4-4-3 maksudnya jumlah rakaat dalam shalat isya, subuh, zuhur, ashar dan maghrib. Mereka (warga yang membawa apem tersebut) membawa pulang sepasang kue apem sebagai oleh-oleh. Perlengkapan lainnya adalah pakaian adat Solo-Yogya yang digunakan untuk memerankan tokoh Ki Ageng Gribig, Nyi Ageng Gribig dan pager ayu yang terdiri dari para sahabat, dan murid-muridnya. Tidak semua orang memakai pakaian itu, hanya orang-orang tertentu yang telah ditunjuk sebagai pemeran yang memakainya. Adapula ingkung dan tumpeng yang melambangkan persatuan dan kesatuan masyarakat Jatinom. Miniatur Masjid Alit yang dipercaya sebagai dalem Ki Ageng Gribig dan sebagai tempat pertama kali Ki Ageng Gribig menyebarkan agama Islam.
E.     Pentingnya Perayaan Upacara Saparan Bagi Masyarakat Jatinom
      Upacara Saparan “Yaqowiyyu” sangat penting bagi masyarakat Jatinom. Upacara ini bersifat sangat religius untuk mengenang jasa Ki Ageng Gribig yang telah membangun desa Jatinom sekaligus menyebarkan agama Islam disana. Upacara ini juga mempunyai nilai filosofi yang tinggi yaitu ajaran agar kita saling memaafkan. Ajaran ini diambil dari kata yang berasal dari Bahasa Arab “afwun” yang menjadi kata apem. Hal yang lebih penting dari perayaan ini bagi masyarakat Jatinom adalah melestarikan dan meluruskan sejarah yang sebenarnya. Sejarah mengenai Ki Ageng Gribig mempunyai beberapa versi yang kemungkinan ada penyelewengan sejarah. Selain itu upacara Saparan diadakan agar tradisi ini tetap berjalan turun-temurun lintas generasi, sehingga tidak hilang ditelan perkembangan zaman. Upacara saparan “Yaqowiyyu” merupakan tradisi atau adat kebiasaan yang berlaku sehingga masyarakat mempunyai kepercayaan yang kuat dan tidak berani untuk meninggalkannya. Upacara Saparan “Yaqowiyyu” juga dianggap membawa berkah bagi masyarakat. Tak heran jika masyarakat memperebutkan apem yang disebarkan di sendang Klampeyan tersebut. Alasan lain yang mendukung upacara ini tetap dilaksanakan yaitu adanya dorongan dari pemerintah daerah Klaten, dianggap menguntungkan karena akan lebih memperkenalkan kebudayaan Klaten di ranah Indonesia. Alasan-alasan tersebut merupakan alasan warga tentang pentingnya perayaan upacara saparan bagi masyarakat Jatinom.
F.     Keyakinan-Keyakinan /Kepercayaan Yang Melekat Pada Ritual Upacara Saparan
Upacara Saparan “Yaqowiyyu” adalah upacara yang berinti memberi do’a. Do’a awalnya dari Ki Ageng Gribig yang memohon kepada Allah agar memberikan kekuatan kepada santrinya dan kepada masyarakat. Do’a itu dilantunkan pada saat sebelum penyebaran apem dimulai. Kata “Yaqowiyyu” dalam do’a ini yang digunakan untuk menyebut acara ini. Upacara ini mempunyai dampak menyebarnya agama Islam di desa Jatinom. Berbeda dengan sudut religi dalam pandangan santri, nilai religi bagi masyarakat Kejawen adalah kekramatan tempat-tempat peninggalan atau petilasan Ki Ageng Gribig. Mereka percaya bahwa Ki Ageng Gribig sakti maka mereka bersemedi di makammnya atau di tempat peninggalannya dengan harapan dapat membawa berkah.
Cara bersemedi dengan membakar kemenyan dan melantunkan do’a yang menjadi keinginannya serta menabur bunga di makam Ki ageng Gribig. Bagi masyarakat Kejawen adanya kepercayaan dan anggapan adanya berkah dari perebutan apem yang disebarkan merupakan nilai yang paling penting. Tak heran jika mereka merebut apem semampunya dan bahkan ada yang memungut bagian-bagian kecil dari apem yang disebarkan.
Mereka mempunyai kepercayaan bahwa kue apem yang disebarkan dan dilantunkan do’a sebelum penyebarannya pasti bertuah. Mereka datang dengan tujuan tertentu saat akan merebut kue apem, tujuan mereka misalnya:
a.    Para petani merebut kue apem dengan tujuan akan dijadikan tumbal pada sawah ladang mereka agar sawah ladang mereka subur dan jauh dari gangguan hama.
b.   Apem digunakan sebagai penjaga rumah. Warga melakukannya dengan cara menggantungkan kue apem tersebut pada pintu rumah. Hal ini dilakukan agar terhindar dari perbuatan jahat.
c.    Pedagang menggunakan apem sebagai pelaris dan agar terhindar dari kerugian.
d.   Pelajar yang masih mempercayai adanya hal bertuah menggunakan apem sebagai pelancar dalam belajar.
Masyarakat yang mendapat banyak apem pada saat perebutan biasanya akan mengadakan pertunjukan wayang kulit atau pertunjukan lainnya, sehingga menambah keramaian kota. Sapar termasuk salah satu bulan yang dirayakan oleh umat Islam di Indonesia. Al-Qur’an memang tidak mengharuskan umatnya untuk merayakan bulan itu, namun orang-orang Indonesia melaksanakan upacara peringatan agama merupakan unsur ungkapan terima kasih atau rasa syukur. Hal ini juga merupakan tujuan dari upacara Saparan “Yaqowiyyu”.



No comments:

Post a Comment

Post Popular

Makalah Maulid Nabi Muhammad SAW 1

MAULID NABI MUHAMMAD SAW Diajukan untuk memenuhi   s alah satu tugas m ata p elajaran Sejarah Kebudayaan Islam ...