Upacara Saparan
“Yaqowiyyu”
Diajukan untuk memenuhi
salah satu tugas mata pelajaran
Sejarah Kebudayaan
Islam
Di Susun Oleh :
Fitri Sundadari
Kelas IX - E
PEMERINTAH
KABUPATEN GARUT
DEPARTEMEN AGAMA
MTsN 1 CISEWU
2016
A. Asal-usul Cerita Rakyat Kyai Ageng Gribig
Kyai Ageng Gribig yang bernama asli Wasibagno Timur, merupakan keturunan
Prabu Brawijaya ke-5 dari Majapahit. Ia adalah seorang ulama besar yang memperjuangkan
Islam di pulau Jawa, tepatnya di desa Jatinom Klaten. Misinya adalah mengemban
dawuh dari pendahulu tokoh utama atau dari kalangan walisongo, tujuannya
meninggalkan dari kerajaan adalah ingin mengemban dakwah Islam dan juga
mempunyai keinginan menjunjung tinggi Bangsa dan Negara.
Kyai Ageng Gribig munajat kepada Allah, Kyai Ageng
Gribig tahan dan kuat bersemedi, maka terkabulah permohonannya dan mendapatkan
ilham yang jelas dalam pendengarannya. Turunlah atau berhentilah lalu ia dari
persemediannya, lalu petunjuk atau ilham yang diterima itu dilaksanakan.
Petunjuk itu berbunyi ” sirolumakuwa saka girikene ngulana aja
pati-pati sira, pegat anggonmu lumaku lamun during tinemu uwit jati sak loran
kang ana ereng-ereng merapi”, yang artinya berjalanlah anda dari Giri
berjalan ke barat anda jangan sekali-kali berhenti apabila belum menemukan
pohon jati (dua pohon jati) dilereng gunung Merapi (Jatinom sekarang). Setelah
mendapat petunjuk itu dia menjalankan, menemukan pohon jati yang masih muda dan
yang sangat tinggi, setelah didekati hilang. Akhirnya salah satu pengikut
memberi petunjuk cobalahKyai menika sitinipun radi inggil yang
artinya Kyai, tanahnya itupun agak tinggi, setelah beliau melihat dari tanah
yang lebih tinggi, ternyata pohon tersebut kelihatan mengeluarkan cahaya yang
sangat menyilaukan, dia sambil menyabda (memberi fatwa) bila suatu saat
perkembangan jaman disini saya beri nama Njinggil (tanah yang
lebih tinggi) hingga sampai sekarang disebut desa Njinggil diutara Jatinom.
Akhirnya setelah beliau menyabda dengan nama kampung atau dukuh Njinggil, Kyai
Ageng Gribig berjalan kaki ke pohon tersebut untuk bertapa dipohon jati
tersebut hingga beberapa tahun lamanya. Lalu pada saat itu beliau menerima
ilham atau wangsit atau mukjizat dari sang Maha Kuasa, yang berbunyi karena
jati ini masih muda tebanglah untuk mendirikan masjid. Lalu beliau melkasanakan
ilham tersebut yaitu mendirikan sebuah masjid dan sekaligus mendirikan sebuah
desa yang diberi nama Jatinom (Jati enom) yang artinya jati muda.
Jatinom adalah nama suatu kecamatan di Kabupaten
Klaten yang terletak pada jalur utama yang menghubungkan antara Klaten dan
Boyolali. Di Jatinom setiap bulan sapar dalam penanggalan Jawa atau Islam
diadakan sebaran apem atau Yaqowiyyu. Tradisi ini dilaksanakan pada hari Jum’at
di bulan Sapar yang berada di masjid besar Jatinom. Orang Jatinom biasa
menjadikan perayan ini sebagai ajang bersilaturahmi kesanak saudara. Pada saat
itu setiap rumah membuat kue apem, yang nanti disajikan pada tamu yang datang.
Tradisi ini konon bermula dari cerita tentang Kyai Ageng Gribig yang memberi
kue apem kepada muridnya, tetapi jumlahnya hanya sedikit sehingga agar adil kue
apem tersebut dilemparka ke muridnya untuk dibagi (Sumarta Sastra dan Indarjo: 1953). Bahwa asal usul cerita rakyat Kyai Ageng
Gribig saat dakwah beliau sangatlah mengena pada masyarakat dan pada saat itu
masih memeluk agama Hindu Budha. Syiar beliau tidak hanya di daerah Klaten saja
tetapi menyebar luas sampai ke luar daerah Boyolali dan Surakarta. Kyai Ageng
Gribig sangat pandai dalam Strategi dakwah, hingga masyarakat pada waktu itu
masih kental dengan keyakinan pada pohon dan batu besar, menjadi beriman kepada
Allah SWT. Keluhuran serta jasa beliau senantiasa terkenang dan melekat pada
masyarakat terutama yang tinggal di Daerah Klaten dan Boyolali.
Banyak peninggalan-peninggalan beliau yang menjadi bukti sejarah bahwa Kyai
Ageng Gribig adalah ulama besar yang berhasil dalam dakwahnya. Salah satu
peninggalannya adalah Masjid alit Jatinom dan Masjid besar Jatinom yang
dijadikan sebagai pusat belajar mengajar, serta tongkat beliau yang sampai
sekarang dijadikan sebagai tongkat khotib ketika Sholat Jum’at dan juga kolam
wudzu yang terletak 50 meter dari masjid. Selain peninggalan yang berupa benda,
beliau juga meninggalkan tradisi ritual yang disebut perayaan tradisional “Ya
Qowiyyu”. Hingga saat ini tradis tersebut tetapa berlangsung dan dihadiri oleh
puluhan ribu jama’ah yang sebagian besar datang dari berbagai wilayah di Jawa
Tengah dan DIY. Kedatangan mereka pada acara tersebut biasanya diiringi dengan
harapan agar mendapat apem (sejenis kue panggang terbuat dari tepung beras dan
rasany manis) yang konon memiliki berkah kekuatan supranatural tertentu.
Perayaan “Ya Qowiyyu” pertama kali dilakukan Kyai Ageng Gribig yaitu
setahun sekali (kalender Jawa) bulan Sapar, tanggal 12 keatas dan 20 kebawah
yang jatuh pada hari Jum’at dan dilaksanakan 1 tahun sekali, sewaktu
pelaksanaan atau puncak peringatan yaitu sehabis melaksanakan Sholat Jum’at,
sebagai ungkapan rasa syukur atas pemberian nikmat Allah SWT. Rasa syukur itu diungkapkan
dalam puji-pujian, berupa kalimat dala bahasa Arab “Ya Qowiyyu” yang artinya
Allah Yang Maha Perkasa (Kuat). Kalimat itu dilafalkan berkali-kali akhirnya
masyarakat menamai prosesi adat itu sebagi “Ya Qowiyyu” yang merupakan wujud
sedekah berua makanan kepada masyarakat luas. Konon Kyai Ageng Gribig bersama
Sultan Agung sering sholat tarawih dan jum’at di Mekkah. Suatu hari, sepulang
dari tanah suci meraka membawa oleh-oleh tiga buah apem. Akan tetapi, karena
jama’ah pada waktu itu sangtlah banyak maka tiga apem itu dicampurkan dalam
apem yang dibuat sendiri untuk dibagikan oleh-oleh. Meskipun berkali-kali
ditambah bahannya, akan tetapi jumlah Apem itu belum mencukupi jumalh jama’ah
yang hadir. Akhirnya Kyai Ageng Gribig memutuskan untuk menyebar apem itu
seusai sholat jum’at didepan masjid besar untuk diperebutkan. Siapa yang
mendapatkan apem itu, merekalah yang mendapat berkah.
Sejak itu Kyai Ageng Gribig berpesan agar Jama’ah menyisihkan sebagian
rejeki untuk bersedekah dan memberi makan pada orang miskin. Pesan itu
diwujudkan dalam bentuk perayaan “Ya Qowiyyu” yang terus berlangsung sampai
sekarang. Meskipun beliau sudah wafat tradisi “Ya Qowiyyu” masih tetap
dilaksanakan bahkan dari tahun ke tahun, pengunjung yang datang dalam ritual
tersebut makin banyak. Karena halaman masjid besar tidak bisa menampung
pengunjung, maka beberapa tahun ini pemerintah setempat mengalihkan tempat
perayaan kepinggiran sungai yang terdapat kolam. Kolam itulah yang konon adalah
tempat wudzu Kyai Ageng Gribig beserta santrinya yang berjarak 50 meter dari
masjid satu minggu sebelum perayan “Ya Qowiyyu” dibuka secara resmi, wilayah
Jatinom memang tampak ramai oleh orang yang khusus datang untuk menyaksikan
rangkaian perayaan tradisional yang sudah berlangsung turun temurun itu. Acara
penyebaran apem diawali dengan pembacaan Tahlil dan Do’a serta acara ritual
lainnya. Panitia menyediakan dua beton setinggi 4 meter luas 2x2 meter
persegi sebagai pusat penyebaran apem. Sebanyak sepuluh orang di masing-masing
menara yang mengenakan kaos putih ditugaskan melemparkan apem ke tengah-tengah
kerumunan masa. Orang-orang mengacung-acungkan tangan mereka kearah menara agar
tempat mereka berdiri di beri apem dan begitu apem jatuh kearah mereka tanpa
sungkan-sungkan mereka saling dorong dan berebutan untuk mendapatkannya. Sering
kali apem yang semula utuh dilantas hancur tatkala menjadi bahan rebutan. Ada
yang kreatif menggunakan jaring yang diberi galah untuk menangkap apem yang
berhamburan. Apem yang disebar dalam perayaan “Ya Qowiyyu” sampai saat ini
seberat tiga ton. Begitulah tradisi “Ya Qowiyyu” yang digagas Kyai Ageng
Gribig, yang sampai saat ini masih diyakini oleh masyarakat setempat sebagai
perayaan yang mendatangkan berkah bagi kehidupan mereka.
B. Nilai-nilai
Dalam Cerita Rakyat Kyai Ageng Gribig
Nilai-nilai yang terkandung dalam cerita rakyat Kyai Ageng Gribig adalah
sebagai berikut :
1. Nilai Keagamaan
Cerita rakyat Kyai Ageng Gribig merupakan gambaran pemasukan nilai-nilai
agama dalam suatu masyarakat yang masih mempercayai adanya animisme. Cerita
rakyat Kyai Ageng Gribig dalam konteks budaya memiliki arti penting sebagai
dalam penyiaran agama Islam.
2. Nilai Sosial
Dalam hal ini adalah moral yang sesuai dengan ajaran agama Islam. Hal
tersebut antara lain dapat dibina melalui pengajian atau ceramah mengenai agama
Islam. Dimana isi atau inti pesan yang disampaikan adalah menganjurkan manusia
untuk berbuat kebajikan. Selain pembinaan moral juga memantapkan aset budaya
daerah yaitu dengan adanya upacara tradisional Yaqowiyyu dapat meningkatkan
silaturahmi.
3. Nilai Kepahlawanan
Kyai Ageng Gribig dikenang oleh seluruh lapisan masyarakat sebagai manusia
yang berjiwa besar dan besar pula jasanya dalam mengajak untuk beriman kepada
Allah SWT.
C. Fungsi
Masyarakat Pemiliknya
Cerita rakyat atau juga yang disebut mitos yang hidup
dalam suatu masyarakat memberikan manfaat atau fungsi bagi masyarakat tersebut.
Bagi masyarakat yang mempercayai mitos, mitos berarti sesuatu yang benar dan
menajadi milik mereka yang berharga, karena merupakan sesuatu yang suci,
bermakna dan menjadi contoh bagi kehidupan manusia. Itulah sebabanya mitos
dianggap memberikan petuah bagi kehidupan masyarakat. Dan fungsi Cerita Kyai
Ageng Gribig diantaranya adalah :
1. Sebagai alat pencerminan
angan-angan.
Cerita Kyai Ageng Gribig mencerminkan harapan dan
keinginan masyarakat setempat untuk menajalani model kehidupan yang diidealkan
dan ditampilkan dalam cerita lewat tokoh. Cerita Rakyat Kyai Ageng Gribig
memiliki pesan moral yang ditujukan kepada masyarakat setempat agar
meninggalkan kebiasaan memuja roh untuk kemudian beriman dan taqwa kepada Allah
SWT.
2. Sebagai alat
pendidikan keagamaan.
Fungsi cerita rakyat Kyai Ageng Gribig sebagai alat
pendidikan keagamaan yaitu pendidikan tentang aspek agama Islam, pendidikan
dibidang politik yaitu politik dakwah Islam, pendidikan tentang seni budaya dan
pendidikan sosial yang menurut agama Islam. Bahwa dalam cerita rakyat Kyai
Ageng Gribig digambarkan sebagai tokoh yang taat beribadah, berusaha
menyebarkan kebaikan untuk sesama dan mengajak manusia untuk meninggalkan
budaya Atheis. Cerita rakyat Kyai Ageng Gribig menunjukkan sebagai fungsi alat
pendidikan keagamaan melalui episode cerita pada saat Kyai Ageng Gribig membuka
Jatinom yang dahulu berupa hutan dengan pertapaan dibawah pohon jati muda
sehingga dinamakan Jatinom dan mendidik masyarakat Jatinom pada jalan Allah.
Beliau senantiasa menyebut nama Allah SWT disetiap kesempatan dan jika akan
melakukan kegiatan.
3. Sebagai pengawas
agar norma-norma masyarakat dipatuhi.
Cerita rakyat Kyai Ageng Gribig tersirat adanya
larangan dan aturan tentang yang harus dijalani manusia dan adanya anjuran
kepada manusia hanya memohon kepada Allah SWT semata. Seperti diketahui konsep
agama dipandang sebagai perangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan
manusia dengan dunia ghaib khususnya dengan Allah, mengatur hubungan manusia
dengan manusia, mengatur hubungan manusia dengan lingkungan. Oleh karena itu
cerita rakyat Kyai Ageng Gribig diceritakan dari generasi ke generasi adalah
sebagai pengingat dan penggugah masyarakat untuk tidak meninggalkan agama.
4. Sebagai alat
kebudayaan.
Dengan adanya tradisi Saparan atau ”Ya Qowiyyu” dalam
cerita rakyat Kyai Ageng Gribig di kecamatan Jatinom dilestarikan oleh
masyarakat setempat dan dapat dijadikan budaya dalam setiap bulan Sapar
masyarakat sekitar Jatinom sangat identik dan menjadi ciri khusus bahwa
untuk memperingati bulan Sapar, masyarakat membuat apem.
D. Pelaksanaan
Upacara Ritual-ritual Saparan
Persiapan pelaksanaan upacara Saparan “Yaqowiyyu” dilaksanakan satu bulan
sebelum perayaan Saparan. Diawali dengan pembentukan panitia khusus yaitu
Pengelola dan Pelestari Peninggalan Ki Ageng Gribig Jatinom yang bekerjasama
dengan instansi pihak terkait. Persiapan matang dari panitia terlihat pada satu
minggu terakhir sebelum upacara penyebaran apem.
Upacara Saparan “Yaqowiyyu” dilaksanakan satu tahun sekali dalam kalender Jawa yaitu pada bulan Sapar pada hari Jumat. Dilaksanakan pada hari Jumat karena Ki Ageng Gribig juga melaksanakannya pada hari Jumat. Puncak acara ritual Saparan “Yaqowiyyu” adalah pada saat penyebaran apem usai sholat Jumat, dimulai jam 12.30 sampai dengan jam 14.30 WIB.
Upacara Saparan “Yaqowiyyu” dilaksanakan satu tahun sekali dalam kalender Jawa yaitu pada bulan Sapar pada hari Jumat. Dilaksanakan pada hari Jumat karena Ki Ageng Gribig juga melaksanakannya pada hari Jumat. Puncak acara ritual Saparan “Yaqowiyyu” adalah pada saat penyebaran apem usai sholat Jumat, dimulai jam 12.30 sampai dengan jam 14.30 WIB.
Tempat-tempat yang berkaitan dengan pelaksanaan Upacara Saparan “Yaqowiyyu”
antara lain halaman Masjid Besar Jatinom untuk penyerahan gunungan apem dari
Muspida kepada pengurus masjid. Gunungan apem kemudian dibawa ke kantor
kecamatan untuk acara pembukaan upacara. Dimulai dari Kecamatan Jatinom dan berakhir
di Masjid Besar Jatinom, Berbagai macam parade disuguhkan antara lain:
1. Marching Band
Marcjing Band ini diisi dari Taman Kanak-Kanak Hingga Sekolah Menengah
Kejuruan, berbagai macam gaya dan model.
2. Reog
Seni tradisional dari budaya Indonesia yang bentuknya menyeramkan, biasanya
berupa hewan, gambaran setan, dan lain sebagainya.
3. Ondel-Ondel
Merupakan orang-orangan yang berbentuk sangat besar yang diadalamnya ada
orang yang menjalanakanny, kalau di Betawi biasa digunakan untuk Khitanan,
Perkawinan dan Acara Seni.
4. Perkumpulan Pemuda
dan Anak
Sekelompok anak kecil dan pemuda yang berpakaian adat dari berbagai
daerah di Indonesia dan kebudayaan lainnya.
Masih banyak lagi pertunjukan-pertunjukan yang disuguhkan didalam acara
pembukaan Saparan ini yang lebih menarik.
Diawali dengan mobil dari Kepolisian Sektor Jatinom dilanjutkan dengan
arak-arakan dan juga dikawal sejumlah aparat dari Polres Klaten. Serta tak lupa
pemotongan pita oleh beliau Bapak Jaka Purwanta, S.Sos. MM selaku Camat
Jatinom.
Dua hal ini dilakukan 7 hari sebelum penyebaran apem. Upacara kedua adalah
penyerahan kembali gunungan apem ke Masjid Besar Jatinom untuk disemayamkan dua
hari sebelum acara inti. Upacara ketiga atau upacara inti bertempat di sendang
Klampeyan. Tempat yang digunakan Ki Ageng Gribig berdiskusi bersama muridnya
tentang masalah fiqih. Setelah sholat Jumat selesai gunungan apem siap untuk
dibawa ke sendang Klampeyan diiringi pemeran tokoh Ki Ageng Gribig, istrinya,
para sahabat dan muri-muridnya.
Di sendang Klampeyan lah tempat penyebaran apem dilaksanakan setelah
dido’akan. Lokasi sendang Klampeyan adalah di bawah pekarangan Masjid Besar
Jatinom, dekat dengan sungai kecil. Apem disebar dari menara kandang apem. Ada
pula acara-acara yang menyertai upacara Saparan ini antara lain acara ziarah ke
makam Ki Ageng Gribig pada malam setelah pemotongan tumpeng, acara pembacaan
Al-Qur’an dan tahlil pada malam sebelum penyebaran apem, dan yang tidak
dilupakan adalah acara untuk membersihkan lingkungan makam dan daerah kampung,
dilaksanakan 7 hari sebelum penyebaran apem. Apem merupakan perlengkapan inti
pada upacara Saparan “Yaqowiyyu” di Jatinom. Pada mulanya apem tidak dibentuk
seperti saat ini. Pada masa Ki Ageng Gribig apem hanya dibagikan seperti biasa.
Namun seiring berkembangnya zaman dan waktu apem ditempatkan pada panjang
ilang yang terbuat dari janur (daun pohon kelapa yang masih muda) dan pada
jodang yaitu tempat makanan yang terbuat dari kayu dan diukir. Pada saat ini
jodang yang dulunya digunakan untuk tempat apem sekarang digunakan untuk
kenduri yang dilaksanakan oleh mayarakat. Saat ini apem diletakkan pada tandu.
Penggunaan panjang ilang tidak berhenti, namun dibuat lebih kecil sebagai
pengantar dua gunungan apem menuju sendang Klampeyan. Kedua gunungan apem
desemayamkan di pendopo utara Masjid Besar, sedangkan apem yang ditaruh di
dalam panjang ilang disemayamkan di makam Ki Ageng Gribig. Apem dibentuk
menyerupai gunung sehingga disebut gunungan. Ada dua gunungan yang biasa
disebut sebagai gunungan lanang dan gunungan wadon. Hal ini menyimbolkan Ki
Ageng Gribing dan Nyi Ageng Gribig.
Apem juga pernah berbentuk singa betina yang disebut Nyau Kopek dan ular
betina yang disebut Nyai Kasur. Konon keduanya adalah binatang kesayangan Ki
Ageng Gribig. Bentuk-bentuk apem yang terus berkembang ini hanya untuk menembah
semarak dan meriahnya upacara ini. Apem yang dulunya dibuat oleh istri Ki Ageng
Gribig, kini apem dibuat oleh masyarakat. Apem yang dibutuhkan sangat banyak
hingga mendapat kiriman dari berbagai daerah yang masih termasuk ahli waris
dari Ki Ageng Gribig.
Apem dikirim dari berbagai daerah seperti Tumenggung, Demak, Magelang,
Pati, Yogyakarta dan Solo. Apem yang diperlukan pada upacara Saparan ini
mencapai sekitar 4,5 ton kue apem atau sekitar 38 ribu kue apem. Penyusunan
gunungan apem itu juga ada artinya, apem disusun menurun seperti sate 4-2-4-4-3
maksudnya jumlah rakaat dalam shalat isya, subuh, zuhur, ashar dan maghrib.
Mereka (warga yang membawa apem tersebut) membawa pulang sepasang kue apem
sebagai oleh-oleh. Perlengkapan lainnya adalah pakaian adat Solo-Yogya yang
digunakan untuk memerankan tokoh Ki Ageng Gribig, Nyi Ageng Gribig dan pager
ayu yang terdiri dari para sahabat, dan murid-muridnya. Tidak semua orang
memakai pakaian itu, hanya orang-orang tertentu yang telah ditunjuk sebagai
pemeran yang memakainya. Adapula ingkung dan tumpeng yang melambangkan
persatuan dan kesatuan masyarakat Jatinom. Miniatur Masjid Alit yang dipercaya
sebagai dalem Ki Ageng Gribig dan sebagai tempat pertama kali Ki Ageng Gribig
menyebarkan agama Islam.
E. Pentingnya
Perayaan Upacara Saparan Bagi Masyarakat Jatinom
Upacara Saparan “Yaqowiyyu” sangat penting
bagi masyarakat Jatinom. Upacara ini bersifat sangat religius untuk mengenang
jasa Ki Ageng Gribig yang telah membangun desa Jatinom sekaligus menyebarkan
agama Islam disana. Upacara ini juga mempunyai nilai filosofi yang tinggi yaitu
ajaran agar kita saling memaafkan. Ajaran ini diambil dari kata yang berasal
dari Bahasa Arab “afwun” yang menjadi kata apem. Hal yang lebih penting dari
perayaan ini bagi masyarakat Jatinom adalah melestarikan dan meluruskan sejarah
yang sebenarnya. Sejarah mengenai Ki Ageng Gribig mempunyai beberapa versi yang
kemungkinan ada penyelewengan sejarah. Selain itu upacara Saparan diadakan agar
tradisi ini tetap berjalan turun-temurun lintas generasi, sehingga tidak hilang
ditelan perkembangan zaman. Upacara saparan “Yaqowiyyu” merupakan tradisi atau
adat kebiasaan yang berlaku sehingga masyarakat mempunyai kepercayaan yang kuat
dan tidak berani untuk meninggalkannya. Upacara Saparan “Yaqowiyyu” juga
dianggap membawa berkah bagi masyarakat. Tak heran jika masyarakat
memperebutkan apem yang disebarkan di sendang Klampeyan tersebut. Alasan lain
yang mendukung upacara ini tetap dilaksanakan yaitu adanya dorongan dari
pemerintah daerah Klaten, dianggap menguntungkan karena akan lebih
memperkenalkan kebudayaan Klaten di ranah Indonesia. Alasan-alasan tersebut
merupakan alasan warga tentang pentingnya perayaan upacara saparan bagi
masyarakat Jatinom.
F. Keyakinan-Keyakinan
/Kepercayaan Yang Melekat Pada Ritual Upacara Saparan
Upacara Saparan “Yaqowiyyu” adalah upacara yang berinti memberi do’a. Do’a
awalnya dari Ki Ageng Gribig yang memohon kepada Allah agar memberikan kekuatan
kepada santrinya dan kepada masyarakat. Do’a itu dilantunkan pada saat sebelum
penyebaran apem dimulai. Kata “Yaqowiyyu” dalam do’a ini yang digunakan untuk
menyebut acara ini. Upacara ini mempunyai dampak menyebarnya agama Islam di
desa Jatinom. Berbeda dengan sudut religi dalam pandangan santri, nilai religi
bagi masyarakat Kejawen adalah kekramatan tempat-tempat peninggalan atau
petilasan Ki Ageng Gribig. Mereka percaya bahwa Ki Ageng Gribig sakti maka
mereka bersemedi di makammnya atau di tempat peninggalannya dengan harapan
dapat membawa berkah.
Cara bersemedi dengan membakar kemenyan dan melantunkan do’a yang menjadi
keinginannya serta menabur bunga di makam Ki ageng Gribig. Bagi masyarakat
Kejawen adanya kepercayaan dan anggapan adanya berkah dari perebutan apem yang
disebarkan merupakan nilai yang paling penting. Tak heran jika mereka merebut
apem semampunya dan bahkan ada yang memungut bagian-bagian kecil dari apem yang
disebarkan.
Mereka mempunyai kepercayaan bahwa kue apem yang disebarkan dan dilantunkan
do’a sebelum penyebarannya pasti bertuah. Mereka datang dengan tujuan tertentu
saat akan merebut kue apem, tujuan mereka misalnya:
a. Para petani merebut kue apem dengan tujuan akan
dijadikan tumbal pada sawah ladang mereka agar sawah ladang mereka subur dan
jauh dari gangguan hama.
b. Apem digunakan sebagai penjaga rumah. Warga
melakukannya dengan cara menggantungkan kue apem tersebut pada pintu rumah. Hal
ini dilakukan agar terhindar dari perbuatan jahat.
c. Pedagang menggunakan apem sebagai pelaris dan
agar terhindar dari kerugian.
d. Pelajar yang masih mempercayai adanya hal bertuah
menggunakan apem sebagai pelancar dalam belajar.
Masyarakat yang mendapat banyak apem pada saat perebutan biasanya akan
mengadakan pertunjukan wayang kulit atau pertunjukan lainnya, sehingga menambah
keramaian kota. Sapar termasuk salah satu bulan yang dirayakan oleh umat Islam
di Indonesia. Al-Qur’an memang tidak mengharuskan umatnya untuk merayakan bulan
itu, namun orang-orang Indonesia melaksanakan upacara peringatan agama
merupakan unsur ungkapan terima kasih atau rasa syukur. Hal ini juga merupakan
tujuan dari upacara Saparan “Yaqowiyyu”.
No comments:
Post a Comment