Tradisi Saparan Di Desa Krendegan, (Lereng Sumbing)
Magelang
Dan Perayaan
Yaaqowiyuu Di Jatinom, Klaten
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata pelajaran
Sejarah
Kebudayaan Islam
Di Susun Oleh :
Alviana Candra
Winata
Kelas IX - E
PEMERINTAH
KABUPATEN GARUT
DEPARTEMEN AGAMA
MTsN 3 GARUT
2016
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
Wr. Wb.
Alhamdulillahirobbil’alamin,
segala puji bagi Allah SWT atas rahmat dan karunianya kami dapat menyelesaikan
karya tulis yang berjudul “Tradisi
Saparan Di Desa Krendegan, (Lereng Sumbing) Magelang Dan Perayaan Yaaqowiyuu Di
Jatinim , Klaten “. Kami menyadari bahwa karya tulis ini belum maksimal dan
masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami mengharap masukan, kritikan
dan saran para pembaca untuk kesempurnaan karya tulis ini.
Akhirnya, semoga
amal baik semua pihak diterima oleh Allah dan mendapatkan balasan darinya
dengan pahala yang setimpal dan semoga karya tulis ini bermanfaat bagi kami dan
juga bagi pembaca sekalian.Amin.
Wassalamu’alaikum
Wr.Wb.
Garut,
.....................2016
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
………………………………………………..............................i
Daftar Isi ………………………………………………………...........................ii
Bab I. Pendahuluan
…………………………………………..............................1
Bab II. Pembahasan …………………………………………..............................4
Bab III. Penutup ……………………………………………….
.........................14
Daftar Pustaka ……………………………………………….............................15
BAB I
PENDAHULUAN
Islam datang ke wilayah Magelang
sebenarnya sudah lama, bahkan jauh sebelum Wali Songo datang, Islam di Tanah
Jawa khususnya Magelang sudah ada tokoh yang menyebarkan Islam. Magelang berada
di tengah-tengah pulau Jawa, baik ke arah timur, maupun arah barat,
begitu ke utara maupun ke selatan. Di tengah-tengah itu ada sebuah gunung kecil
yang bernama gunung Tidar. Menurut cerita tempat itulah pertama kali seorang
Muslim memijakkan kakinya di tanah Jawa dan beliau juga di makamkan di sana.
Kota
Magelang dikelilingi banyak gunung, dan masing-masing warga di sekitar gunung
tersebut mempunyai tradisi untuk merasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa,
yaitu tradisi saparan yang berada di desa Krandegan dan dilaksanakan setiap
setahun sekali. Dan, untuk kesempatan kali ini penulis akan menjelaskan apa itu
saparan.
Bulan
Sofar atau lebih dikenal dengan bulan Sapar bagi masyarakat Indonesia khususnya
orang Jawa, adalah bulan ke dua dalam penanggalan tahun hijriyah. Di berbagai
daerah di pulau Jawa banyak sekali tradisi yang dilaksanakan di bulan sapar
ini. Sebut saja saparan di sekitar lereng gunung Sumbing. Dari berbagai daerah
yang melaksanakan tradisi saparan ini masing-masing mempunyai maksud dan tujuan
yang hampir sama antara satu daerah dengan daerah lainnya. Namun secara umum
maksud dan tujuan dari pelaksanaan tradisi saparan ini adalah memohon kepada
Tuhan Yang Maha Esa agar senantiasa diberi keselamatan
dalam mengarungikehidupanini.
Entah
kapan dan siapa yang memulai tradisi saparan ini, tetapi tradisi saparan rutin
dilaksanakan setiap tahunnya,. Namun demikian, di beberapa desa di daerah ini
pelaksanaan tradisi saparan tidak lengkap bila tidak menggelar aneka pagelaran
kesenian tradisional. Salah satu kesenian tradisional yang seakan-akan wajib
dilaksanakan di beberapa desa adalah pagelaran kesenian, missal tari Tayub,lengger,kudalumpingdanlain-lain.
Sebagai
simbol pelaksanaan saparan ini, pada hari yang telah ditetapkan di masing
masing desa, dilaksanakan kenduri bersama. Biasanya pelaksanaan kenduri ini
dilaksanakan dirumah kepala dusun masing-masing yang dihadiri warga dusun
tersebut. Perlengkapan yang dibawa dalam kenduri ini terdiri dari nasi tumpeng,
satu ekor ayam ( mereka menyebutnya ingkung ayam), buah-buahan, dan beberapa
lauk pauk lainnya serta beberapa makanan ringan. Setelah mereka berkumpul di
rumah kepala dusun maka sesepuh kampung atau tokoh agama akan memberikan
sedikit wejangan dan dilanjutkan doa bersama yang dipimpin tokoh agama tersebut.
Setelah doa bersama beberapa petugas mengambil sebagian dari kenduri
yang dibawa para warga. Hasil dari penarikan ini biasanya akan digunakan
sebagai konsumsi dalam pelaksanaan pagelarankeseniantradisional.
Bulan sapar bagi sebagian warga merupakan bulan yang dinanti-nanti. Sebagian anak-anak (bahkan juga orang dewasa) menyebutnya sebagai bulan penuh gizi. Betapa tidak, karena di bulan sapar, sudah menjadi tradisi mereka saling berkunjung. Salahsatu rangkaian pelaksanaan tradisi saparan di daerah ini adalah saling mengundang. Biasanya yang diundang adalah saudara dekat, teman, kenalan sampai relasi bisnisnya. Waktu pelaksanaan saparan yang berbeda antara desa yang satu dengan yang lainnya, memungkin mereka saling berkunjung. Bahkan tidak jarang mereka juga mengundang saudara atau rekan dari luar kota. Bagi sebagian warga yang sedang merantau diluar kota juga menyempatkan untuk pulang kampung sekedar merayakan saparan ini.
Bulan sapar bagi sebagian warga merupakan bulan yang dinanti-nanti. Sebagian anak-anak (bahkan juga orang dewasa) menyebutnya sebagai bulan penuh gizi. Betapa tidak, karena di bulan sapar, sudah menjadi tradisi mereka saling berkunjung. Salahsatu rangkaian pelaksanaan tradisi saparan di daerah ini adalah saling mengundang. Biasanya yang diundang adalah saudara dekat, teman, kenalan sampai relasi bisnisnya. Waktu pelaksanaan saparan yang berbeda antara desa yang satu dengan yang lainnya, memungkin mereka saling berkunjung. Bahkan tidak jarang mereka juga mengundang saudara atau rekan dari luar kota. Bagi sebagian warga yang sedang merantau diluar kota juga menyempatkan untuk pulang kampung sekedar merayakan saparan ini.
Fokus
penelitian ini adalah masyarakat sekitar desa Krandegan dan sekitarnya tentang
tradisi saparan. Disebabkan daerah tersebut cukup unik dalam hal pelaksanaan
yang ada di dalamnya. Mereka tidak begitu menghiraukan tradisi saparan tersebut
apakah sesuai atau tidak bahkan apakah ada hubungannya apabila dikaitkan dengan
Islam, Inilah perhatiannya.
Penyebaran
islam di Jawa juga dibungkus oleh ajaran-ajaran terdahulu, bahkan terkadang
melibatkan aspek kejawen sebagai jalur penyebarannya. Walisongo memiliki andil
besar dalam penyebaran islam di Tanah Jawa. Walaupun di Magelang
jauh sebelum Wali Songo sudah ada yang menyebarkan agama Islam, yaitu.
Unsur-unsur dalam islam berusaha ditanamkan dalam budaya-budaya jawa semacam
pertunjukan wayang kulit, dendangan lagu-lagu jawa , cerita-cerita kuno, hingga
upacara-upacara tradisi yang dikembangkan di masyarakat.
Hal
ini sangat dimungkinkan, karena masyarakat Jawa yang menganut budaya tinggi,
akan sukar untuk meninggalkan budaya lamanya ke ajaran baru walaupun ajaran
tesebut sebenarnya mengajarkan sesuatu yang lebih baik,seperti ajaran agama
islam .
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Tradisi Saparan Di Desa Krendegan, (Lereng Sumbing) Magelang
Kecenderungan upacara
tradisi saparan di Sumbing cukup menarik. Karena sebagian warga,
khususnya warga masyarakat dusun di lereng tersebut mengatakan:
’’Sebenarnya
acara saparan itu sendiri bagus, tujuannya pun jelas yaitu : Syukuran dusun
atau memperingati cikal-bakal adanya dusun istilahnya dalam bahasa jawa (merti
dusun), itu juga samahalnya seperti syukuran yang diadakan setiap hari
kemerdekaan tanggal 17 agustus. Mungkin yang perlu ditinjau kembali adalah
dalam pelaksanaannya’’.
, warga
masyarakat masyarakat Krandegan nampaknya mempunyai cara pandang sendiri
terhadap tradisi saparan. Mereka memaknainya sebagai atas rasa syukur. Tetapi
kita harus mengetahui acara yang ada didalamnya, apakah hanya acara syukuran
yang sederhana atau bahkan ada acara-acara yang lain, mungkin bisa dikatakan
tak sewajarnya. Untuk lebih jelasnya kita lihat hasil pemaparan dari salah satu
tokoh warga masyarakat dusun lereng Sumbing tentang apa saja acara yang ada di
dalamnya, yang di ungkapkan oleh tokoh masyarakat:
“Saparan itu
memang dari dulu sudah ada sejak zaman nenek moyang, kalau cikal-bakalnya atau
pertama kali muncul kurang begitu jelas, entah itu datangnya pada masa transisi
dari hindu-budha ke agama islam, sebelum itu atau bahkan sesudah islam
menyebar”.
Mereka
juga menambahkan bahwa intinya semua sama yaitu memperingati dusun sebagai atas
rasa syukur yang telah diberikan. Mungkin acara yang ada didalamnya, karena
masih banyak menggunakan tradisi-tradisi kejawen. Tetapi mereka harus paham
jangan asal ikut-ikutan karena dibalik semua itu ada artinya, sebagai contoh
acara didalam saparan itu sendiri ada beberapa kegiatan:
1. Sabelum
acara saparan dimulai ada ‘nyadran’, yaitu acara bersih-bersih ke makam,
itu tujuannya selain warga bisa berkumpul bersama juga sebagai
kebersamaan karena kalau dilakukan sendiri-sendiri akan merasa berat. Nyadran
dilakukan karena makam-makam didusun tidak dikasih nisan, hanya sebatang kayu,
jadi kalau tidak dibersihkan maka akan tumbuh rumput dan lama kelamaan kalau
tidak dibersihkan nanti akan hilang. Acara seperti itu tidak harus, misalkan
tidak dilakukan juga tidak apa-apa. Selang sehari kemudian diadakan pengajian
umum yang dilaksanakan pada siang hari setelah waktu Dzuhur.
2. Pada
malam hari sebelum acara inti, para warga berkumpul di rumah bapak bayan
(dukuh) untuk memanjatkan do’a kepada Yang Maha Esa, di mulai dengan berdo’a
bersama acara Sesaji yang didalamnya ada beraneka macam makanan dan minuman,
itu semua mempunyai makna, kata sesaji itu berasal dari kata ‘ngajeni’ yaitu
dengan mendatangkan orang-orang untuk ngaji bersama setelah selesai mereka
di’ajeni’ atau dijamu dengan makanan-makanan yang ada dalam sesaji tersebut.
Jadi sesaji itu bukan dipersembahkan buat makhluk halus, melainkan untuk diri
sendiri, kalau misalkan tidak dilakukan akan mendatangkan bahaya, hal seperti
itu tidak di benarkan kalau memang demikian justru harus diluruskan.
3. Acara
puncak, yaitu, dari keluarga tokoh masyarakat, mendatangkan sanak saudara dan
mengundang warga lain yang bertujuan untuk mempererat tali silaturahmi dan bisa
berkumpul bersama dengan disuguh sebuah kesenian daerah. Acara puncak ini juga
dihadiri oleh warga lain desa, kebanyakan mereka bertujuan hanya untuk sekedar
cari keramaian
perlu
di tinjau kembali terutama dalam hal penjamuan, karena sangat berlebihan dalam
menjamu, hanpir rata-rata satu kepala keluarga bisa menghabiskan uang sebesar
satu juta rupiah dalam satu hari, itu akan diraskan begitu beratnya bagi mereka
yang bisa dikatakan warga yang kurang mampu dengan harus mengeluarkan dana
sebesar itu, mungkin dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka sudah berjuang
dengan susah payah, aplagi harus ditambah dengan beban biaya yang lebih berat.
Dari pihak yang diundang pun mereka harus bergantian mengundang, apabila di
dusunnya ada saparan, itu juga akan menambah beban seperti mempunyai ikatan.
Penulis
merasa sangat kekurangan dalam memberikan penjelasan tentang tradisi Saparan
diatas, mungkin dengan sedikit hasil memaparkan uraian wawancara dari warga dan
hasil dari pengalaman saat bergaul dengan warga mengenai kegiatan tradisi
saparan maupun kegiatan yang ada di dalamnya akan bisa menambah pengertian atau
wawasan bagi mereka yang melaksanakannya terlebih bagi warga yang hanya
ikut-ikutan dan tidak tau makna di dalamnya, karena hal semacam itu akan lebih
berbahaya dibanding warga yang melakukan tetapi mengerti makna dan mempunyai
tujuan. Sikap seperti ini diperlukan, karena kita bukanlah bangga yang
membenarkan diri sendiri belaka, melainkan sanggup menghargai pandapat orang
lain, yang terkadang betentangan dengan pendirian kita sendiri. Pandangan ini
memang perlu ditekankan karena pluralitas kita sangat tinggi dari sudut agama,
budaya, bahasa, adat kebiasaan maupun politik. Ini terbawa oleh pendidikan,
letak geografis maupun cara hidup kita yang sangat berbeda dari satu dengan
lain.
Hubungan Agama Islam Dengan Tradisi Saparan Berkaitan Dengan Akhlak
Dideda Krandegan pada umumnya, hubungan agama dengan tradisi saparan bisa dikatakan
tidak ada, misalnya kalau ada juga tidak terlalu bertentangan dengan islam. Hal
ini bisa disimpulkan dari hasil pemaparan warga, bahwa kebanyakan dari mereka
mengatakan acara saparan itu warisan nenek moyang yang harus tetap di
lestarikan dan tidak ada sangkut-pautnya terhadap agama.
Tetapi yang perlu diperhatikan adalah dalam pelaksanaan seperti yang sudah
dipaparkan diatas, jadi akan muncul suatu pertanyaan apakah acara yang ada itu
sudah sesuai dengan akhlak? Sedangkan akhlak sendiri mempunyai arti Secara
bahasa akhlak berasal dari kata اخلق – يخلق – اخلاقا artinya
perangai, kebiasaan, watak, peradaban yang baik. Menurut Istilah: sifat yang tertanam
dalam jiwa yang mendorongnya untuk melaksanakan perbuatan tanpa memerlukan
pemikiran dan pertimbangan. Kenyataan sosial semacam ini adalah tantangan bagi
agama-agama, khususnya islam. Agama, menurut klaim penulis, harus mampu
berkomunikasi lebih dekat lagi dengan masyarakat, terutama komunitas masyarakat
pedesaan, seperti halnya warga masyarakat dusun tersebut tentang tradisi
saparan. Jika tradisi saparan masih saja berkukuh dengan pandangannya sendiri,
tanpa dikaji kembali melalui agama, karena masyarakat lereng Sumbing adalah
100% islam, dan semuanya adalah warga NU, bukan mustahil mereka akan
mengabungkan antara tradisi dan agama dalam acara-acara semacam itu, Inilah
tantangan baru agama islam khususnya bagi kaum intelektual muda khususnya warga
masyarakat lereng Sumbing.
Prinsip dan konsep-konsep yang mendasari penilaian tentang perilaku manusia
Contohnya, dengan patokan apa dapat dibedakan antara tindakan yang “benar” dan
yang “salah” secara moral atau akhlak? Apakah kesenangan merupakan
satu-satunya ukuran untuk menentukan sesuatu sebagai yang “baik”? Apakah
keputusan moral bersifat sewenang-wenang atau sekehendak hati?
Maksud utama ungkapan moral atau akhlak bukanlah untuk menegaskan bahwa
demikianlah persoalan yang ada, melainkan untuk menasehati, mengingatkan,
mensyaratkan, menyatakan, atau memprotes bahwa demikianlah yang harus
dilakukan. Sesungguhnya tujuan pertama misi diutusnya Nabi adalah kajian
akhlak. Nabi SAW Bersabda:“ Aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan
akhlak yang mulia.” (HR. Imam
Malik )
2. Upacara
Apem Yaawiyuu
Perayaan Yaaqowiyuu di Jatinom, Klaten, banyak
dikunjungi puluhan ribu wisatawan lokal dan mancanegara. Mereka berkumpul di
lapangan dekat Masjid Besar Jatinom, menunggu acara sebar kue apem yang
dilakukan setelah selesai salat Jumat. Untuk tahun ini sebanyak 5 ton kue apem
yang diperebutkan para pengunjung.
Menurut kepercayaan orang banyak, apem yaaqowiyuu yang
artinya Tuhan mohon kekuatan itu bisa untuk tumbal, tolak bala, atau syarat
untuk berbagai tujuan. Bagi petani, bisa untuk tumbal sawah agar tanaman
selamat dari segala bencana dan hama penyakit.
Bahkan, ada yang percaya siapa yang mendapat banyak
apem pada perebutan itu sebagai tanda akan memperoleh rezeki melimpah. Saking
percaya hal itu ada yang kaul (nadar) menggelar wayang kulit, atau pertunjukan
tradisional yang lain.
Maka, tak heran jika pada puncak acara peringatan
yaaqowiyuu ini pengunjung melimpah yang datang dari berbagai daerah di Jawa
Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur. Acara tradisi budaya tersebut digelar
untuk mengenang jasa Ki Ageng Gribig, tokoh ulama penyebar agama Islam di Jawa,
yang menetap dan meninggal di Jatinom.
Asal muasal kue apem itu dari Mekah yang dibawa Ki
Ageng Gribig untuk oleh-oleh anak cucunya. Karena tidak cukup, maka Nyi Ageng
Gribig membuat apem lagi sekaligus untuk dibagikan kepada penduduk Jatinom.
Sejak itu orang daerah ini ikutan membuat apem untuk selamatan. Perayaan
yaqowiyu di Jatinom, diharapkan menjadi salah satu objek wisata menarik di
Klaten.
Upacara
ini mulai pertama kali berbentuk majelis pengajian yang dikunjungi oleh umat
Islam dan masyarakat sekeliling Jatinom. Upacara ini diselenggarakan setiap
tahun sekali pada hari Jumat pertengahan bulan Sapar. Adanya Upacara ini
dinamakan Yaqowiyu diambil dari doa Kyai Ageng Gribig sebagai penutup pengajian
yang berbunyi : Ya qowiyu Yaa Assis qowina wal muslimin, Ya qowiyyu warsuqna
wal muslimin, yang artinya : Ya Tuhan berikanlah kekuatan kepada kita segenap
kaum muslimin, doa tamu itu dihormati dengan hidangan kue roti, dan ternyata
hidangannya kurang, sedang tamunya masih banyak yang belum menerimanya.
Nyai
Ageng segera membuat kue apem yang masih dalam keadaan hangat untuk dihidangkan
kepada para tamu undangan tersebut. Majelis pengajian ini sampai sekarang
setiap tahunnya masih berjalan, yang dilakukan pada malam Jumat dan menjelang
sholat Jumat pada pertengahan bulan Sapar, setiap tahunnya Doa Kyai Ageng
Gribig itu dibacakan dihadapan hadirin, para pengunjung kemudian menyebutkan
Majelis Pengajian itu dengan sebutan nama : ONGKOWIYU yang dimaksudkan JONGKO
WAHYU atau mencari wahyu. Kemudian oleh anak turunnya istilah ini dikembalikan
pada aslinya yaiut YAQOWIYU.
Sedanng di lokasi ini terdapat juga peninggalan Kyai
Ageng Gribig berupa : gua Belan, Sendang Suran, Sendang Plampeyan dan Oro oro
Tarwiyah. Disamping itu masih ada satu peninggalan yaitu Masjid Alit atau
Masjid Tiban. Perlu kiranya ditambahkan disini bahwa sepulangnya Kyai Ageng
Gribig dari Mekah tidak hanya membawa apem saja tetapi juga membawa segenggam tanah
dari Oro oro Arofah dan tanah ini ditanamkan di Oro oro Tarwiyah. Adapun Oro
oro ini disebut Tarwiyah karena tanah dari Mekah yang ditanam Kyai Ageng Gribig
yang berasal dari Padang Arofah ketika beliau sedang mengumpulkan air untuk
bekal untuk bekal wukuf di Arofah pada tanggal 8 bulan Dzulhijah. Dari tanggal
8 Dzulhijah ini dinamakan Yaumul Tarwiyah yang artinya pada tanggal itu para
jamaah Haji mengumpulkan air sebanyak banyaknya untuk bekal wukuf di Arofah
Tahun ini peringatan tersebut berlangsung hari Kamis
(28 Januari 2010) kemarin. Rangkaian acaranya diawali gunungan apem tersebut
diarak rombongan orang dari halaman Kantor Kecamatan Jatinom, dengan rute jalan
protokol menuju Masjid Alit hingga Masjid Gedhe yang menjadi tempat
dimakamkannya Ki Ageng Gribig. Jalur Kirab Gunungan Apem tahun ini lebih
panjang daripada jalur tahun sebelumnya. Pada tahun-tahun sebelumnya, Gunungan
Apem melintasi Balaikelurahan Jatinom, akan tetapi pada tahun ini kirab,
melintasi jalan protokol. Rombongan terdiri atas grup drum band dari SMPN 1
Jatinom, grup reog, jajaran pejabat Pemkab Klaten yang terdiri atas perwakilan
dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) serta sejumlah camat yang berpakaian
jawa.Sebelum sampai di Masjid Gedhe, kedua gunungan apem mampir sebentar di
Masjid Alit. Di masjid ini, rombongan disambut H Sukamto, salah seorang
pengurus masjid.
Di masjid ini pula, dibacakan doa yang dipimpin
langsung H Sukamto. Dalam doanya, dia berharap Kirab Gunungan Apem membawa
berkah bagi semua warga di Jatinom.
Sesampainya di Masjid Gedhe, kegiatan penyerahan
gunungan apem kepada keturunan ki Ageng Gribig, keluarga Murtadho Purnomo
dilakukan. Penyerahan apem diwakili oleh Sekretaris Daerah (Sekda) Klaten,
Bapak Drs H Indarwanto MM kepada keluarga Murtadho Purnomo. Di masjid inilah,
dua buah gunungan itu beristirahat selama semalam.
dengan nyekar ke makam Ki Ageng Gribig dan
dilanjutkan dengan pengajian di Masjid Gedhe peninggalan sang kyai pada hari
Kamis sebelumnya. Puncak acara dimulai dengan shalat Jumat bersama di Masjid
Gedhe. Selesai jumatan, gununganlanang,dikenal dengan nama Ki Kiyat, dan gunungan wadon, dikenal dengan nama Nyi Kiyat, yang telah disemayamkan semalam di
dekat masjid, diarak menuruni tangga menuju panggung di lapangan Sendang
Plampeyan (tanah lapang di pinggir Kali Soka, di selatan masjid dan makam Ki
Ageng Gribig).
Arak-arakan terdiri dari peraga Ki Ageng Gribig, Bapak
Bupati H Sunarno SE M.Hum, Muspida, kedua gunungan, putri domas, dan para
pengawal. Kemudian peraga Ki Ageng Gribig memimpin doa bersama. Selanjutnya,
dia menyerahkan apem yang ditempatkan dalam panjang ilang (keranjang terbuat dari janur) kepada Bupati Klaten. Bupati
mengawali upacara penyebaran dengan melempar apem dalam panjang
ilang kepada pengunjung. Kemudian, petugas penyebar yang berada di dua
menara segera mengikutinya dengan melemparkan ribuan apem. Ribuan pengunjung
pun tanpa dikomando berebut apem, bahkan sampai terinjak kakinya atau
bertabrakan gara-gara ingin menangkap apem. Suasana rebutan apem benar-benar
meriah. Dalam waktu singkat 4 ton apem sumbangan dari para warga sekitar habis
tak tersisa.
Makna Kue Apem :
Menurut
kepercayaan orang banyak, apem yaaqowiyuu yang artinya Tuhan mohon kekuatan itu
bisa untuk tumbal, tolak bala, atau syarat untuk berbagai tujuan. Bagi petani,
bisa untuk tumbal sawahnya menjadi subur dan tanaman padi selamat dari segala
bencana dan hama penyakit, bagi Pedagang agar supaya dagangannya laris bahkan,
ada yang percaya siapa yang mendapat banyak apem pada perebutan itu sebagai
tanda akan memperoleh rezeki melimpah.
Sejarah Yaqowiyu
Upacara Yaqowiyu dimulai dari pengajian yang diadakan oleh Kyai Ageng Gribig yang pada saat mengakhiri acara selalu memanjatkan doa “Ya qowiyu Yaa Assis qowina wal muslimin, Ya qowiyyu warsuqna wal muslimin”, untuk memohon kekuatan terhadap kaum muslim. Untuk menghormati para tamu, maka dibuatlah hidangan kue apem dan makanan kecil lainnya. , yang diadakan setiap bulan Jawa pada Safar. Oleh penduduk Jatinom Klaten sering disebut dengan Saparan. Upaca Yaqowiyu ditandai dengan penyebaran kue apem, bahasa arab “affan” yang bermakna ampunan tujuannya agar masyarakat selalu memohon ampunan kepada sang pencipta. sebuah kue bundar dari tepung beras dengan potongan kelapa ditengahnya. Kue apem disebarkan dari menara masjid. Penyusunan gunungan apem itu juga ada artinya, apem disusun menurun seperti sate 4-2-4-4-3 maksudnya jumlah rakaat dalam shalat isa/ subuh/ zuhur/ ashar/ dan magrib.( menurut sejarah suatu hari di bulan sapar ki ageng gribig yang merupakan keturunan prabu brawijaya kembali dari perjalanannya ke tanah suci ia membawa oleh-oleh 3 buah makanan dari sana. Sayangnya saat akan dibagikan kepada penduduk, jumlahnya tak memadai bersama sang istri iapun membuat kue sejenis. Kue-kue inilah yang kemudian disebarkan kepada penduduk setempat/ yang berebutan mendapatkannya sambil menyebarkan kue-kue ini iapun meneriakkan kata “yaqowiyu” yang artinya “tuhan berilah kekuatan” Dipercayakan kue apem ini mempunyai kekuatan supranatural yang membawa kesejahteraan bagi yang berhasil mendapatkannya. Perayaan yang dipusatkan di kompleks makam Kyai Ageng Gribig ini biasanya dihadiri Bupati beserta pejabat Kabupaten Klaten agar lebih meramaikan suasana dan mendekatkan diri kepada rakyat.
Upacara Yaqowiyu dimulai dari pengajian yang diadakan oleh Kyai Ageng Gribig yang pada saat mengakhiri acara selalu memanjatkan doa “Ya qowiyu Yaa Assis qowina wal muslimin, Ya qowiyyu warsuqna wal muslimin”, untuk memohon kekuatan terhadap kaum muslim. Untuk menghormati para tamu, maka dibuatlah hidangan kue apem dan makanan kecil lainnya. , yang diadakan setiap bulan Jawa pada Safar. Oleh penduduk Jatinom Klaten sering disebut dengan Saparan. Upaca Yaqowiyu ditandai dengan penyebaran kue apem, bahasa arab “affan” yang bermakna ampunan tujuannya agar masyarakat selalu memohon ampunan kepada sang pencipta. sebuah kue bundar dari tepung beras dengan potongan kelapa ditengahnya. Kue apem disebarkan dari menara masjid. Penyusunan gunungan apem itu juga ada artinya, apem disusun menurun seperti sate 4-2-4-4-3 maksudnya jumlah rakaat dalam shalat isa/ subuh/ zuhur/ ashar/ dan magrib.( menurut sejarah suatu hari di bulan sapar ki ageng gribig yang merupakan keturunan prabu brawijaya kembali dari perjalanannya ke tanah suci ia membawa oleh-oleh 3 buah makanan dari sana. Sayangnya saat akan dibagikan kepada penduduk, jumlahnya tak memadai bersama sang istri iapun membuat kue sejenis. Kue-kue inilah yang kemudian disebarkan kepada penduduk setempat/ yang berebutan mendapatkannya sambil menyebarkan kue-kue ini iapun meneriakkan kata “yaqowiyu” yang artinya “tuhan berilah kekuatan” Dipercayakan kue apem ini mempunyai kekuatan supranatural yang membawa kesejahteraan bagi yang berhasil mendapatkannya. Perayaan yang dipusatkan di kompleks makam Kyai Ageng Gribig ini biasanya dihadiri Bupati beserta pejabat Kabupaten Klaten agar lebih meramaikan suasana dan mendekatkan diri kepada rakyat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Magelang
adalah merupakan daerah tertua di Indonesia, bayangkan saja pada tahun 2013 ini
umurnya sudah mencapai 1.107 tahun. Agama Islam di Indonesia dibawa oleh para
kekasih Allah, keberhasialan mereka dalam menyebarkan agama Islam karena mereka
pandai membaca situasi dan kondisi yaitu menyesuaikan kebudayaan dan tradisi
yang ada di tanah Jawa khususnya Magelang dan sekitranya. Terlebih di daerah
Krandegan sendiri mereka tidak menghilangkan sama sekali tradisi yang sudah
ada, hanya saja ditambahi atau dimodifikasi, yang dulunya tidak ada unsur nilai
Islamnya sekarang ditambahi dengan nilai-nilai Islam.
Salah
satunya adalah tradisi Saparan yang terdapat di desa tersebut, selain sebagai
ajang silaturahim, bulan ini juga dijadikan sebagai bulan untuk memperingati
cikal-bakal desa tersebut, biasanya saparan dilakukan satu bulan penuh,
bergiliran dari satu desa ke desa yang lain, waktu pelaksanaannya malam hari,
sebelum acara puncak dimulai pada siangnya dilakukan acara pengajian umum sebagai
bukti itu adalah bahwa saparan itu sudah di sisipi oleh nilai-nilai keagamaan.
DAFTAR PUSTAKA
Idianto. M. 2004. Sosiologi untuk SMA Kelas X. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Indah Sri Rahayu. 2005. “Upacara saparan “Yaqowiyyu” (Sudut
Kebudayaan dan Religi) di Desa Jatinom, Kec. Jatinom, Kab. Klaten, Jawa
Tengah”. Tugas Akhir Semester I. Surakarta: Fakultas Sastra dan Seni Rupa,
Universitas Sebelas Maret.
P3KAG.
2008. Perayaan Tradisionil Yaqowiyyu Jatinom Klaten.
Anonim. Upacara YaQowiyyu Sebar 4,5 Ton Kue Apem. (online
Anonim. Upacara YaQowiyyu Sebar 4,5 Ton Kue Apem. (online
No comments:
Post a Comment