Kumpulan Makalah Terlengkap, Tutorial Dapodik, Tutorial PMP, Perangkat Pembelajaran Kurikulum KTSP 2006 Dan KTSP 2013 SD

Search

Thursday, January 10, 2019

Makalah Kajian Novel Salah Pilih Karya Nur Sutan Iskandar


Makalah Kajian Novel Salah Pilih Karya Nur Sutan Iskandar
Diajukan untuk memenuhi  salah satu tugas mata pelajaran
Bahasa Indonesia

 


  







Di Susun Oleh :

FITRI SUNDADARI
Kelas IX - E





PEMERINTAH KABUPATEN GARUT
DEPARTEMEN AGAMA
 MTsN 3 GARUT
                                                                        2016





KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT atas rahmat dan
karunianya kami dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul Kajian Novel
Salah Pilih Karya Nur Sutan Iskandar.
 Kami menyadari bahwa karya tulis ini belum maksimal dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami mengharap masukan, kritikan dan saran para pembaca untuk kesempurnaan karya tulis ini.
Akhirnya, semoga amal baik semua pihak diterima oleh Allah dan mendapatkan balasan darinya dengan pahala yang setimpal dan semoga karya tulis ini bermanfaat bagi kami dan juga bagi pembaca sekalian.Amin.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

                                                                          Garut, .....................2016
                                                                                     
  Penyusun 




DAFTAR ISI

Kata Pengantar ………………………………………………..............................i
Daftar Isi ………………………………………………………...........................ii
Bab I. Pendahuluan  …………………………………………..............................1
Bab II. Pembahasan  …………………………………………..............................3
Bab III. Penutup ………………………………………………. .........................23
Daftar Pustaka  ……………………………………………….............................24






BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Fiksi yang terbagi atas novel, cerpen, naskah drama dan dongeng merupakan salah satu genre dalam karya sastra yang dipercaya mempunyai potensi yang cukup besar dalam rangka mendorong arus perubahan budaya. Hal ini karena ternyata karya sastra aliran fiksi tidak hanya dibaca oleh golongan tertentu seperti golongan elit atau kaum terpelajar saja tetapi juga diminati oleh hampir seluruh lapisan masyarakat.
Novel Salah Pilih karya Nur Sutan Iskandar adalah novel roman lama yang menjadi saksi sejarah dan perkembangan Bahasa Indonesia, sekaligus jejak pemikiran modern Indonesia. 
Novel ini mengisahkan tentang perjalanan hidup tokoh yang bernama Asri dalam menentukan pasangan hidupnya. Bermula dari Asri menjatuhkan pilihannya kepada seorang gadis cantik dari keluarga kaya dan terpandang. Asri berharap dari pernikahannya itu ia bisa hidup bahagia, namun ternyata nasib menentukan lain. Rumah tangganya tidak bahagia, sampai akhirnya sebuah kejadian menimpa istrinya yang membuatnya meninggal dalam sebuah kecelakaan. Akhirnya takdir bisa menyatukan Asri dan Asnah, adik angkatnya. Asri bisa menikah juga dengan Asnah yang dicintainya dan mereka hidup bahagia selamanya.
1.2 Rumusan Masalah
       Bagaimana menentukan unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam novel berjudul Salah Pilih karya Nur St. Iskandar?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui unsur intrinsik yang terdapat dalam novel Salah Pilih
2. Mengetahui biografi pengarang novel Salah Pilih
1.4 Manfaat
1. Menambah pengetahuan mengenai budaya zaman dulu
2. Mengetahui hubungan karya sastra dengan keadaan sosial
3. Mengetahui isi novel Salah Pilih



BAB II
PEMBAHASAN
                                                        
1. Sinopsis
            Di sebuah tempat bernama Sungaibatang, Maninjau, Sumatera Barat, tinggal sebuah keluarga yang terdiri atas seorang ibu, seorang anak laki-laki dan seorang lagi perempuan, serta seorang pembantu. Ibu itu bernama Mariati, si lelaki bernama Asri, dan yang perempuan bernama Asnah. Sementara pembantu itu bernama Sitti Maliah dan dua anak itu biasa memanggilnya Mak Cik Lia. Keluarga itu saling mengasihi satu sama lain sekalipun dengan si pembantu dan Asnah yang bukan anak kandung Bu Mariati, mereka tidak peduli dengan hal tersebut. Asnah pun juga sayang pada perempuan yang dianggap sebagai ibu kandung itu. Ia selalu sabar merawat Bu Mariati yang tengah sakit.
Asri dan Asnah semakin lama semakin dewasa dan semakin akrab sebagai saudara. Mereka terbiasa jujur satu sama lain, bahkan Asnah mengetahui rahasia kakaknya yang tidak diketahui sang bunda, begitu juga sebaliknya. Namun ada satu hal yang sangat dirahasiakan Asnah, dia menyayangi Asri lebih dari seorang kakak, melainkan rasa sayang seorang kekasih. Gadis itu sangat terpukul ketika sang ibu meminta anak lelakinya untuk segera menikah, dia tahu bukan ia yang akan menjadi pendamping Asri karena adat melarang pernikahan sesuku seperti mereka. Asri menjatuhkan pilihan pada seorang putri bangsawan yang cantik, adik kandung mantan kekasihnya. Gadis itu bernama Saniah. Mereka bertunangan lalu menikah setelah melewati beberapa adat Minangkabau.
Pernikahan Asri dengan Saniah sangat jauh dari kata bahagia. Keduanya memiliki perbedaan yang sangat kuat dalam masalah adat. Saniah selalu disetir ibunya untuk mengikuti adat yang sangat kaku dan kuno menurut Asri, karena Asri sudah terbiasa dengan pendidikan luar yang bebas. Ia sangat menghormati adat, namun ia tidak suka terlalu dikekang dan dipaksa-paksa seperti yang dilakukan Saniah padanya. Selain itu, Saniah adalah wanita yang sombong, keras kepala, membedakan kelas sosial masyarakat, dan tidak suka bergaul dengan tetangga. Saniah sangat cemburu dengan keberadaan Asnah dan ia ingin menyingkirkan gadis itu dengan berbagai cara, tentunya peran sang ibu tidak tertinggal.
            Suatu hari penyakit bu Mariati menjadi sangat parah. Asnah beserta Mak Cik Liah bergantian menjaganya, tak lupa juga Asri lebih sering mengunjungi ibunya yang telah diasingkan Saniah di bagian rumah mereka yang lain. Penyakit bu Mariati tidak dapat disembuhkan dan nyawanya telah lepas dari raga. Sebelum meninggal, ibu itu berpesan kepada anaknya, ia menyesal telah meminta Asri menikah, apalagi dengan Saniah. Wanita itu juga menjelaskan adat Minang yang tidak melarang Asri dan Asnah menikah karena mereka tidak sedarah. Wanita itu berpesan agar anak lelakinya itu menikah dengan anak angkatnya, Asnah, yang sifatnya sangat mulia di mata semua orang.
            Setelah kematian sang bunda, Asri selalu memikirkan petuah terakhir itu. Dan ia baru menyadari perasaan sayangnya kepada Asnah yang lebih setelah teman lamanya, Hasan Basri, datang kepadanya untuk meminta izin memperistri Asnah. Ia sangat cemburu dan tidak bisa mengambil keputusan, sehingga segalanya ia serahkan kepada Asnah. Asri sangat lega ketika Asnah menolak pinangan teman lamanya itu. Tanpa saling bicara, keduanya bisa mengerti bahwa ada cinta di antara mereka. Saniah menangkap keganjilan pada suaminya sehingga ia memaki-maki Asnah sebagai wanita yang tidak tahu diri. Kejadian itu diketahui Asri sehingga ia sangat marah kepada Saniah dan keduanya bertengkar hebat, sementara Asnah memilih pergi dari rumah itu dan tinggal bersama bu Mariah, adik ibu Mariati. Semenjak kepergian Asnah, Asri tetap sering bertengkar dengan Saniah hingga ia tidak betah lagi berada di rumah gadang itu.
            Suatu ketika bu Saleah, ibu dari Saniah mendapat kabar bahwa anak lelakinya akan menikah dengan gadis biasa di perantauan. Ibu itu merasa geram, ia tidak mau mempunyai menantu miskin dan dari suku lain. Kemudian ia mengajak Saniah beserta pembantu mereka pergi ke tempat putranya untuk menggagalkan pernikahan itu. Saking geramnya, bu Saleah meminta sopir mobil yang ia sewa untuk mengebut walaupun jalanan sangat sulit. Alhasil, mobil yang mereka tumpangi tidak terkendali sehingga masuk jurang lalu Saniah dan ibunya meninggal dunia.
            Semenjak Asri menduda, banyak wanita yang datang menghampirinya. Namun, ia tidak pernah goyah untuk mencintai Asnah, walaupun wanita-wanita yang menghampirinya lebih cantik. Asri tidak bisa lagi menahan cintanya. Setelah berunding dengan bibinya yang sekarang merawat Asnah, ia memutuskan menikah dengan Asnah dan meninggalkan segala harta dan jabatannya untuk merantau ke pulau Jawa, karena jika tidak pergi dari situ, maka keduanya akan dikeluarkan dari suku secara tidak hormat. Perantauannya menghasilkan sesuatu yang baik. Asri punya kedudukan yang baik dan keduanya mempunyai banyak teman di sana. Di tengah rutinitas mereka di Jawa, tepatnya di Jakarta, tiba-tiba datang surat dari Maninjau meminta agar keduanya kembali ke sana dan Asri diminta untuk menjadi kepala pemerintahan. Tanpa pikir panjang mereka setuju untuk kembali ke Maninjau walaupun berat juga meninggalkan kawan-kawannya di Jakarta. Mereka sangat rindu dengan kampung kelahirannya itu.
            Setibanya di Maninjau, mereka disambut meriah oleh warga yang sangat menghormati Asri atas jasa-jasanya sebelum ia merantau dulu dan atas kelembutan tabiat Asnah. Berawal dari Asri yang salah pilih istri, ia menjadi tahu siapa orang yang sebenarnya ia cintai dan dengan berusaha keras ia mampu hidup bersama sang kekasih dalam mahligai rumah tangga yang penuh cinta di kampung halaman tercinta.
Novel tersebut masih menggunakan gaya bahasa melayu sehingga sulit dipahami untuk pembaca sekarang. Di situ digambarkan adat istiadat suku Minang yang ketat namun seorang yang berpendidikan seperti Asri mampu meluruskan adat tersebut, jika ada yang tidak logis, maka tidak perlu dipakai lagi. Kebaikan keluarga ibu Mariati dan Asnah patut dijadikan contoh dalam kehidupan sehari-hari. 
2.  Analisis Novel
      1.      Tema
Tema dalam Novel ini adalah tentang sosial, dimana menceritakan tentang kehidupan tokoh Asri yang salah pilih dalam menentukan pasangan hidupnya.
      2.      Tokoh dan Penokohan
2.1  Tokoh Utama
Asnah                    : sabar, baik, setia
seperti pada salah satu kutipan: “Enak, Ibu? Bagus. Nanti saya minumkan sekali lagi. Mujarab… Sekarang hendak saya gosok kaki Ibu yang sakit itu… Makcik, biar saya sendiri menjaga Ibu, pekerjaan Makcik tentu banyak lagi yang lain-lain, bukan?” (Nur St. Iskandar, 2006:5)
Asri                       : baik, ramah, rendah hati
Seperti pada salah satu kutipan: senantiasa kalau Asri sudah pulang, maka ramailah rumah gedang itu. Anak muda-muda banyak turun naik, gelak, kelakar, dan olok-olok kedengaran dengan riangnya.
(Nur St. Iskandar, 2006:35)
Saniah                   : manja, sombong, pencemburu, pendendam,
Seperti pada salah satu kutipan: Saniah berkata dengan cemooh dan ejeknya. Ia tidak menaruh perasaan baik dan tak suka kepada anak-anak. (Nur St. Iskandar, 2006:60)
Mariati                   : penyayang, lembut, baik
Seperti pada salah satu kutipan: “kini pun obat itu sudah memberi berkat, Asri. Kalau aku telah melihat wajahmu, aku sehat sudah. Biar terbang penyakit itu, dan aku sembuh sendiri kelak.” (Nur St. Iskandar, 2006: 24)
Sitti Maliah           : sabar, amanah, baik
Seperti pada salah satu kutipan: “kalau tidak kakak minum, tentu takkan member faedah rebusan ini,” jawab Sitti Maliah dengan sabar, sambil duduk bersimpuh di sisi kanan ibu Mariati. (Nur St. Iskandar, 2006:1)
Rangkayo Saleah  : tegas, keras, sombong, tamak
Seperti pada salah satu kutipan: Rangkayo Saleah berkata kepada anaknya, “Saniah, sebagai telah kukatakan juga kepadamu, engkau hendak kuperjodohkan. Dan niat itu sampai sudah, yakni engkau telah bertunangan dengan Asri, yang kebetulan telah diangkat jadi klerk di kantor Maninjau. Syukur! Akan tetapi awas Saniah! Pengajaranku kepadamu jangan kau lupakan.” (Nur St. Iskandar, 2006:75)
Rusiah                   : baik, bijaksana
Seperti pada salah satu kutipan: Coba kau camkan benar-benar, mengapa kita akan memuliakan seseorang karena pangkatnya dan kekayaannya? Mengapa kita akan memandang hina akan orang miskin, karena kemiskinannya itu? Ingat pepatah kita: yang tua dimuliakan, yang kecil dikasihi... (Nur St. Iskandar, 2006:67)
Dt. Indomo           : baik, bijaksana
Seperti pada salah satu kutipan: Bermula Dt. Indomo berdiam diri saja! Ia tidak setuju dengan pendapat istrinya itu, sebab pikirannya dan pemandangannya sendiri amat luas dalam hal nikah kawin. Dengan siapa saja anaknya hendak kawin, diizinkannya, asal perempuan yang disukainya sebanding umurnya dengan umur anaknya itu: terpelajar, sehat, orang baik-baik, dan betertib sopan. Kaya, miskin, bangsawan, berlain negeri, dan sebagainya, sekaliannya itu tidak dipandangnya penting jadi alasan. (Nur St. Iskandar, 2006:198)
Kaharuddin           : baik, gigih, tegas
Seperti pada salah satu kutipan: Sebelum anakanda mengabarkan cita-cita dan niat maksud yang termateri di dalam hati anakanda, lebih dahulu anakanda minta ampun dan maaf kepada Ayah dan Bunda. Sebagaimana sudah Ayah dan Bunda ketahui jua agaknya, sebab anakanda selalu berkirim surat pulang, kesehatan anakanda waktu ini insya Allah tiada kurang apa-apa. Demikian jua tentang pekerjaan anakanda, tidak ada yang tak menyenangkan hati. (Nur St. Iskandar, 2006:196)
Mariah                   : jujur, sabar
Seperti pada salah satu kutipan: “Aku maklum, Anakku. Akan tetapi damai itu harus datang dari kedua belah pihak. Barangkali akan datang waktunya kelak, orang di rumah gedang ini berhajatkan hidup sentosa dan damai. Dalam hal itu hanya seperkara saja yang dapat kau lakukan, yakni keluar dari sini… Dalam hal itu, pintu rumahku selalu terbuka bagimu, Asnah! Engkau akan kuterima di sana dengan segala sukacita….
(Nur St. Iskandar, 2006:96)
2.1.Tokoh Peripheral
Hasan Basri                                   : baik, beradab
Seperti pada salah satu kutipan: …Sesunggunhnya ia sudah jatuh cinta kepada Hasan Basri, saudagar muda di Kutaraja, yaitu kemenakan seorang-orang kaya. Ia elok dan beradab…. (Nur St. Iskandar, 2006:63)
Ali                                                 : amanah
Seperti pada salah satu kutipan: …Tentang orang-orang di kampung kita ini, biarlah si Ali saja memanggilnya…. (Nur St. Iskandar, 2006:77)
Sutan Alamsyah                            : amanah
Seperti pada salah satu kutipan: “Sutan Alamsyah,” kata penghulu itu kepada wakil orang rumah gedang itu…. (Nur St. Iskandar, 2006:82)
Datuk Maulana                             : baik
Seperti pada salah satu kutipan: “Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun,” kata Datuk Maulana dan Baginda Sati sekaligus… “kita mesti balik pulang, akan mengantarkan burung ini, sudah itu kita pergi ke Kubu, melawat.” (Nur St. Iskandar, 2006:165)
Baginda Sati                                 : baik
Seperti pada salah satu kutipan: “Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun,” kata Datuk Maulana dan Baginda Sati sekaligus… “kita mesti balik pulang, akan mengantarkan burung ini, sudah itu kita pergi ke Kubu, melawat.” (Nur St. Iskandar, 2006:165)
Sidi Sutan                                     : pembantu baik
Seperti pada salah satu kutipan: Sekalian “perintah” itu dilakukan oleh Sidi Sutan dengan secepat-cepatnya…. (Nur St. Iskandar, 2006:200)
Dewi                                             : suka ngerumpi
Seperti pada salah satu kutipan: “Oh Mak Sarinah,” kata Saodah dengan ramah-tamah, “naik, Mak, kebetulan si Dewi ada pula di sini. Senang hati saya, Mak tandangi. Perempuan itu disilakan duduk di atas tikar, lalu ketiga mereka itu pun bercakap-cakap dengan riang sambil makan sirih sekapur seorang. (Nur St. Iskandar, 2006:225)
Saodah                                          : suka ngerumpi
Seperti pada salah satu kutipan: “Oh Mak Sarinah,” kata Saodah dengan ramah-tamah, “naik, Mak, kebetulan si Dewi ada pula di sini. Senang hati saya, Mak tandangi. Perempuan itu disilakan duduk di atas tikar, lalu ketiga mereka itu pun bercakap-cakap dengan riang sambil makan sirih sekapur seorang. (Nur St. Iskandar, 2006:225)
Mak Sarinah                                  : suka ngerumpi
Seperti pada salah satu kutipan: “Oh Mak Sarinah,” kata Saodah dengan ramah-tamah, “naik, Mak, kebetulan si Dewi ada pula di sini. Senang hati saya, Mak tandangi. Perempuan itu disilakan duduk di atas tikar, lalu ketiga mereka itu pun bercakap-cakap dengan riang sambil makan sirih sekapur seorang. (Nur St. Iskandar, 2006:225).                    
      3.      Sudut Pandang
3.1  Novel ini menggunakan sudut pandang orang ketiga, seperti pada salah satu kutipan: demi dilihat Ibu Mariati hal sedemikian, ia pun tersenyum.  (Nur Sutan Iskandar, 2006 : 2)
      4.      Alur
4.1  Novel ini menggunakan alur campuran (alur maju dan mundur).
Alur maju, seperti pada salah satu kutipan: Asnah menggosok matanya dengan jarinya yang halus sebagai duri landak itu. Kemudian dilekapkannyalah pipinya kepada orang tua itu.
(Nur St. Iskandar, 2006:225)
Alur mundur, seperti pada salah satu kutipan: “…Ketika umur Asri kira-kira tiga tahun, kami beroleh seorang anak perempuan pula. Tapi tak beberapa hari sesudah lahir ke dunia, iapun berpulang….”
(Nur St. Iskandar, 2006:13)
      5.      Seting
1.      Waktu       :  - pagi hari, seperti pada salah satu kutipan: Hari ahad pagi-
pagi, jam besar yang tergantung di dinding ruang tengah rumah gedang itu sudah berbunyi lima kali…
(Nur St. Iskandar, 2006:76)
  - siang hari, seperti pada salah satu kutipan: Makin tinggi hari, makin lenganglah di pinggir danau itu…
(Nur St. Iskandar, 2006:77)
  - petang hari, seperti pada salah satu kutipan: Ketika  sekalian perempuan itu tiba di gerbang rumah gedang pula, hari sudah petang. (Nur St. Iskandar, 2006:87)
  -  malam hari, seperti pada salah satu kutipan: Pada malam itu Rangkayo Saleah hampir tidak dapat tidur…
(Nur St. Iskandar, 2006:206)
2.      Tempat      : -  Maninjau, seperti pada salah satu kutipan: Dari kantor pos
pembantu Maninjau, surat-surat itu dikirim orang ke kantor kepala negeri… (Nur St. Iskandar, 2006:193)
-       Sungaibatang, seperti pada salah satu kutipan: Tiap-tiap hari Rabu di Sungaibatang diadakan pekan, yaitu sebuah pasar…  (Nur St. Iskandar, 2006:193)
-       Bayur, seperti pada salah satu kutipan: …Apalagi Bayur hanya 5 tonggak jauhnya dari Sungaibatang, atau 2 tonggak dari Maninjau… (Nur St. Iskandar, 2006:193)
-       Bukittinggi, seperti pada salah satu kutipan: Tak selang berapa lama, ketiga mereka itu pun berangkat ke Bukittinggi dengan oto sedan. (Nur St. Iskandar, 2006:208)
-       Padang, seperti pada salah satu kutipan: Baru enam bulan anakanda tinggal di Padang, anakanda sudah dapat berkenalan dengan Engku Sutan Suleman…
(Nur St. Iskandar, 2006:197)
-       Jakarta, seperti pada salah satu kutipan: Sekalian buah mulut orang kampung itu sampai jua ke telinga kedua suami istri itu, meskipun mereka sudah jauh dari negerinya, sudah ada di kota Jakarta yang besar itu…
(Nur St. Iskandar, 2006:250)
3.      Suasana     : -  Pedih, seperti pada salah satu kutipan: Mulutnya bergerak-
gerak, sebab menahan pedih hatinya….
(Nur St. Iskandar, 2006:21)
-       Tangis dan ratapan, seperti pada salah satu kutipan: …ketika itu bukan buatan gelumat tangis dan ratap…
(Nur St. Iskandar, 2006:165)
-       Bahagia, seperti pada salah satu kutipan: …Rupanya pertemuan ibu dengan anak yang dicintai itu mendatangkan bahagia besar kepada kedua belah pihaknya. (Nur St. Iskandar, 2006:23)
-       Rindu, seperti pada salah satu kutipan: …Memang hatinya terharu sangat. Sedih, sayu, dan rindu…
(Nur St. Iskandar, 2006:209)
-       Penyesalan, seperti pada salah satu kutipan: “…Ampuni kesalahanku, dosaku, ya, Kakanda.”
(Nur St. Iskandar, 2006:210)
-       Takut dan gelisah, seperti pada salah satu kutipan: Saniah memandang sejenak kepada bundanya dengan ketakutan dan gelisah, lalu menundukkan kepalanya.
(Nur St. Iskandar, 2006:210)
      6.      Bahasa
Bahasa dalam novel Salah Pilih ini sebagian besar bergaya Melayu sehingga terkadang sedikit sulit dipahami.
      7.      Gaya Bahasa
1.      Dan di dalam mangkun itu ada rebusan daun jeruk tujuh macam, yang masih suam-suam kuku, sedang uapnya naik keudara dengan selesai. (Nur St. Iskandar, 2006:1)
Gaya bahasa yang digunakan adalah majas personifikasi.
2.      “tak usah kakak cium, minum saja cepat-cepat! Obat ini sangat mujarab, sudah banyak orang yang sembuh olehnya.”  (Nur St. Iskandar, 2006:1)
Gaya bahasa yang digunakan adalah majas hiperbola.
3.      “Kepada permaidani takkan berapa jahatnya dari kepada tubuhku.… (Nur St. Iskandar, 2006:2)
Gaya bahasa yang digunakan adalah majas personifikasi.
4.      Asnah! Mana anakku itu? Mukanya akan jadi obat bagiku, Liah, bukan parasmu yang buruk dan bengis ini.” (Nur St. Iskandar, 2006:2)
Gaya bahasa yang digunakan adalah majas hiperbola.
5.      “Ya, kalau Kakak memandang kecermin itu…Tapi lihat, Kakak, bajuku sudah sembuh kena obat mujarab ini.”  (Nur St. Iskandar, 2006:2)
Gaya bahasa yang digunakan adalah majas ironi.
6.      “Inilah saya, ibu,” kata anak gadis itu dengan riang dan tersenyum, sehingga tampaklah “lesung pipit” pada kedua belah pipinya yang sebagai payuh dilayang itu. (Nur St. Iskandar, 2006:4)
Gaya bahasa yang digunakan adalah majas perumpamaan.
7.      Giginya yang putih sebagai gading itu kelihatan dua jajar dengan indahnya. (Nur St. Iskandar, 2006:4)
Gaya bahasa yang digunakan adalah majas perumpamaan.
8.      Muka orang tua pun berseri-seri seperti matahari yang baru terbit. (Nur St. Iskandar, 2006:4)
Gaya bahasa yang digunakan adalah majas perumpamaan.
9.      Ngeri sekali! Dan cahaya matahari pun menjadi gangguan pula kepadaku. (Nur St. Iskandar, 2006:7)
Gaya bahasa yang digunakan adalah majas personifikasi.
10.  Demi didengar Asnah perkataan yang akhir itu, mukanya yang hening jernih itu pun seakan-akan disaputi oeh awan yang mengandung hujan. (Nur St. Iskandar, 2006:11)
Gaya bahasa yang digunakan adalah majas perbandingan.
11.  Supaya berhak atas sesuatunya, haruslah saya bekerja membanting tulang. (Nur St. Iskandar, 2006:11)
Gaya bahasa yang digunakan adalah majas hiperbola.
12.  Engkau tak usah bermuram durja, karena hal yang merawankan hati ini. (Nur St. Iskandar, 2006:13)
Gaya bahasa yang digunakan adalah majas hiperbola.
13.  Seperti anaknya tidak laku kepada perempuan lain. Lebih panas lagi hatinya melihat St. Penghulu sangat cinta kepada sabariah. Katanya, anaknya itu sudah termakan “cirit berendeng”. (Nur St. Iskandar, 2006:14)
Gaya bahasa yang digunakan adalah majas perbandingan.
14.  Asnah berteriak karena terkejut, mukanya pucat sebagai mayat. (Nur St. Iskandar, 2006:25)
Gaya bahasa yang digunakan adalah majas perumpamaan.
15.  Dadanya menjadi lapang rasanya, sebagai terlepas daripada tekanan suatu benda yang berat. (Nur St. Iskandar, 2006:32)
Gaya bahasa yang digunakan adalah majas hiperbola.
16.  Pemandangan, pendengaran, dan perasaan bertukar, seakan-akan kita beroleh kehidupan baru. (Nur St. Iskandar, 2006:36)
Gaya bahasa yang digunakan adalah majas personifikasi.
17.  Akan tetapi pikirannya melayang-layang jua kemana-mana (Nur St. Iskandar, 2006:44)
Gaya bahasa yang digunakan adalah majas personifikasi.
18.  Menahan jerit sedih dan pilu, yang menyesak-nyesak hendak keluar dari dadanya (Nur St. Iskandar, 2006:49)
Gaya bahasa yang digunakan adalah majas personifikasi.
19.  Ketika masih kanak-kanak pun hatinya sudah tersangkut pada Asri dengan kasih mesra yang tak terperikan (Nur St. Iskandar, 2006:49)
Gaya bahasa yang digunakan adalah majas personifikasi.
20.  Dan perasaan yang teramat manis bercampur sedih timbullah di dalam hatinya (Nur St. Iskandar, 2006:49)
Gaya bahasa yang digunakan adalah majas personifikasi.
21.  Ia mengeluh sekali lagi, hatinya remuk redam (Nur St. Iskandar, 2006:51)
Gaya bahasa yang digunakan adalah majas hiperbola.
22.  Alisnya yang seperti bentuk taji dan bulu matanya yang hitam sebagai semut beriring (Nur St. Iskandar, 2006:53)
Gaya bahasa yang digunakan adalah majas perumpamaan.
23.  Memang paras anak gadis itu tak ubah sebagai sekuntum bunga yang baru kembang. (Nur St. Iskandar, 2006:53)
Gaya bahasa yang digunakan adalah majas perumpamaan.
24.  Jam besar yang tergantung di dinding ruang tengah rumah gedung itu sudah berbunyi lima kali, alamat hari sudah pukul lima waktu subuh. (Nur St. Iskandar, 2006:76)
Gaya bahasa yang digunakan adalah majas personifikasi.
25.  Kelihatanlah panas matahari menerangi puncak bukit Barisan. (Nur St. Iskandar, 2006:76)
Gaya bahasa yang digunakan adalah majas personifikasi.
26.  Panas itu turun ke bawah dengan perlahan-lahan. (Nur St. Iskandar, 2006:76)
Gaya bahasa yang digunakan adalah majas personifikasi.
27.  Makin lama panas itu makin menjalar masuk danau. (Nur St. Iskandar, 2006:76)
Gaya bahasa yang digunakan adalah majas personifikasi.
28.  Dan akhirnya sampailah panas itu ke pinggir danau yang di sebelah timur. (Nur St. Iskandar, 2006:76)
Gaya bahasa yang digunakan adalah majas personifikasi.
29.  Waktu berjalan juga dengan perlahan-lahan. (Nur St. Iskandar, 2006:78) Gaya bahasa yang digunakan adalah majas personifikasi.
30.  Ingatannya terbang kemana-mana. (Nur St. Iskandar, 2006 :84)
Gaya bahasa yang digunakan adalah majas personifikasi.
31.  Matahari hampir terbenam, hilang di bukit Barisan. (Nur St. Iskandar, 2006:87)
Gaya bahasa yang digunakan adalah majas personifikasi.
32.  Tidak silau lagi mata menentang maharaja siang yang hendak masuk ke peraduannya itu. (Nur St. Iskandar, 2006:87)
Gaya bahasa yang digunakan adalah majas personifikasi.
33.  Pada pemandangan Asri adalah dia sebagai seorang bidadari yang baru turun dari kayangan. (Nur St. Iskandar, 2006:87)
Gaya bahasa yang digunakan adalah majas perumpamaan.
34.  Bencana Rangkayo Saleah yang sangat hebat itu telah menyayat-nyayat hati jantungnya. (Nur St. Iskandar, 2006:89)
Gaya bahasa yang digunakan adalah majas personifikasi.
35.  Bahwa cinta itu pada perempuan biasanya mula-mula terbit di dalam hati, kemudian baru sampai ke mulut. (Nur St. Iskandar, 2006:120)
Gaya bahasa yang digunakan adalah majas personifikasi.
36.  Ketika matahari terbit dan cahayanya masuk ke kamar dari jendela, maka orang tua itu pun membeliakan matanya serta memandang ke hadapan dengan tenang. (Nur St. Iskandar, 2006:161)
Gaya bahasa yang digunakan adalah majas personifikasi.
37.  Dan tidak lama sesudah itu napasnya pun hilang dengan selesai. (Nur St. Iskandar, 2006:163)
Gaya bahasa yang digunakan adalah majas personifikasi.
38.  Matahari sudah mulai naik dan kebanyakan orang sudah pergi ke pekerjaannya masing-masing. (Nur St. Iskandar, 2006:164)
Gaya bahasa yang digunakan adalah majas personifikasi.
39.  Sebentar antaranya terdengar pula gemanya, yang berbalik dari bukit yang menahan bunyi itu. (Nur St. Iskandar, 2006:164)
Gaya bahasa yang digunakan adalah majas personifikasi.
40.  Ia tidak tahu dan ingat, bahwa perasaan itu sudah memberi bahagia kepadanya. (Nur St. Iskandar, 2006:171)
Gaya bahasa yang digunakan adalah majas personifikasi.
41.  Akan tetapi ketika dipandanginya muka Asri yang pucat sebagai mayat itu keheranannya itu pun bertukar dengan takut dan khawatir. (Nur St. Iskandar, 2006:175)
Gaya bahasa yang digunakan adalah majas perumpamaan
42.  Badannya gemetar, dadanya turun naik dengan kencang…. (Nur St. Iskandar, 2006:177)
Gaya bahasa yang digunakan adalah majas hiperbola.
43.  Awan berarak di atas air, melindungi biduk-biduk yang bersimpang siur itu. (Nur St. Iskandar, 2006:209)
Gaya bahasa yang digunakan adalah majas personifikasi.
44.  Sejurus lamanya mereka itu tengah lurus-lurus, seperti matahari dengan bulan. (Nur St. Iskandar, 2006:244)
Gaya bahasa yang digunakan adalah majas perumpamaan.
      8.      Simpulan
8.1  Kelebihan
-          Ada beberapa kata yang memakai gaya bahasa sehingga karya sastra lebih indah dilihat dan dibaca.
-          Mengingatkan kita janganlah lupa pada adat negeri sendiri
-          Mengingatkan kita janganlah menilai seseorang dari rupa atau hartanya saja
-          Mengingatkan kita jangan membeda-bedakan orang karena kaya atau miskinnya
-          Mengingatkan kita agar menurut pada perintah dan nasihat orang tua itu wajib, tetapi jika perintah orang tua itu salah, sebisa mungkin harus bisa menolaknya.
-          Mengingatkan kita bahwa sesuatu yang menurut orang banyak itu salah, belum tentu merupakan suatu kesalahan.
8.2  Kekurangan/kelemahan
-          Menggunakan bahasa melayu sehingga pembaca menemui kesulitan dalam memahami novel tersebut
8.3  Hal yang bisa kita petik 
Banyak amanat yang bisa kita dapatkan dari novel Salah Pilih ini, diantaranya:
-          Walaupun sudah berpendidikan tinggi, janganlah lupa pada adat negeri sendiri
-          Janganlah menilai seseorang dari rupa atau hartanya saja
-          Jangan membeda-bedakan orang karena kaya atau miskinnya
-          Menurut pada perintah dan nasihat orang tua itu wajib, tetapi jika perintah orang tua itu salah, sebisa mungkin harus bisa menolaknya




BAB III
PENUTUP

4.1 SIMPULAN
       Dari berbagai macam pengamatan terhadap karya novel dari angkatan Balai Pustaka tersebut, kami menyimpulkan bahwa tidaklah mudah untuk melestarikan serta mengapresiasikan sebuah karya sastra yang berupa novel, tentunya sangat memerlukan kejelian. Tetapi dari mengapresiasi novel, kita dapat mengetahui isi novel melalui unsur-unsur intrinsik dan mempelajari serta meneladani hal-hal yang terdapat pada novel tersebut.

4.2 SARAN
            Melihat perkembangan zaman seperti sekarang ini, sebaiknya sebagai generasi penerus kita harus melestarikan karya sastra lama. Karena sekarang sedikit orang yang tertarik oleh karya sastra lama karena tergeser oleh karya modern yang lebih menarik perhatian.



DAFTAR PUSTAKA

Iskandar, Nur St. 2006. Salah Pilih. Jakarta: Balai Pustaka



No comments:

Post a Comment

Post Popular

Makalah Maulid Nabi Muhammad SAW 1

MAULID NABI MUHAMMAD SAW Diajukan untuk memenuhi   s alah satu tugas m ata p elajaran Sejarah Kebudayaan Islam ...