Kumpulan Makalah Terlengkap, Tutorial Dapodik, Tutorial PMP, Perangkat Pembelajaran Kurikulum KTSP 2006 Dan KTSP 2013 SD

Search

Thursday, December 27, 2018

MAKALAH TENTANG PENYAMUN, PERAMPOK DAN PEROMPAK 1


MAKALAH  TENTANG PENYAMUN, PERAMPOK
DAN PEROMPAK
Diajukan untuk memenuhi salahsatu tugas mata pelajaran Fiqih
Guru Mapel : ……………………………….



 




Oleh :

1.      DENI RISMAYANTO
2.      FITRI SUNDADARI
3.      SAEPUL ROHMAN
4.      REVHA MAULANA. Y
5.      PARIDA SITI. N








DEPARTEMEN AGAMA
MADRASAH ALIYAH NEGERI 4 GARUT
TAHUN PELAJARAN 2017-2018




KATA PENGANTAR


Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT atas rahmat dan karunianya kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Penyamun, Perampok dan Perompak  . Kami menyadari bahwa makalah ini belum maksimal dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami mengharap masukan, kritikan dan saran para pembaca untuk kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya, semoga amal baik semua pihak diterima oleh Allah dan mendapatkan balasan darinya dengan pahala yang setimpal dan semoga makalah ini bermanfaat bagi kami dan juga bagi pembaca sekalian.Amin.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb


Garut, .....................2017
                                                                                     
  Penyusun 



DAFTAR ISI

Kata Pengantar ………………………………………………..............................i
Daftar Isi ………………………………………………………...........................ii
Bab I. Pendahuluan  …………………………………………..............................1
Bab II. Pembahasan  …………………………………………..............................2
Bab III. Penutup ………………………………………………. ..........................15
Daftar Pustaka  ………………………………………………..............................16



BAB I
PENDAHULUAN

A.                Latar Belakang
Dalam Islam mencuri, merampok dan menyamun adalah perbuatan yang dilarang. Kebanyakan orang hanya mengerti dasar hukum mencuri, merampok dan menyamun secara mendasar. Dan tanpa ada pemikiran untuk dapat memahami lebih mendalam mengenai hukum tindakan tersebut dalam kajian Islam yang sesungguhnya.
Untuk dapat memahami pengertian mencuri dan menyamun yang dalam artian sesungguhnya. Maka dalam makalah ini akan dijelaskan tentang tindakan mencuri, merampok dan menyamun dalam kajian Islam. Hal tersebut berupa pengertian, dasar hukum, hukuman, syarat dan hikmahnya.
B.        Rumusan Masalah
1.         Apa pengertian dari Mmenyamun ?
2.         Apa unsur-unsur menyamun ?
3.         Apa Hukuman Terhadap Tindak Pidana penyamun (Hirabah) ?
4.         Bagaimana Pembuktian Tindak Pidana Penyamun (Hirabah) ?
C.        Tujuan
1.        Menjelaskan pengertian dari Menyamun.
2.        menjelaskan unsur – unsur menyamun
3.        Mengetahui hukuman penyamun dalam agama Islam
4.        Menjelaskan cara pembuktian tindak pidana Penyamun

BAB II
PEMBAHASAN

A.           Pengertian Menyamun
Menyamun, merampok dan merompak sering dinamakan Hirabah dari segi bahasa diambil dari kata  حَرْبٌ yang artinya adalah perang.
Menurut istilah hirabah berarti mengambil harta orang lain dengan kekerasan/ancaman senjata dan kadang-kadang disertai dengan pembunuhan. Dalam bahasa Arab kata hirabah sama artinya dengan قَطْعُ الطَّرِيْقِ (penghadangan di jalan). Istilah pengadangan di jalan tidak hanya berarti menyamun tetapi merampok dan merompak, hanya perbedaannya terletak pada tempat kejadian.
Istilah menyamun terjadi di darat tempatnya sepi dan jauh dari keramaian, merampok terjadi di darat dan tempatnya ramai sedangkan merompak terjadi di laut atau yang terkenal dengan bajak laut.
Menyamun/merampok/merompak adalah kejahatan yang bersifat mengancam harta dan jiwa, sehingga perbuatan itu sama dengan mencuri bahkan melebihinya sebab terdapat unsur kekerasan bahkan kadang-kadang disertai pembunuhan, maka dari itu hirabah hukumnya haram dan perbuatannya termasuk dosa besar bahkan lebih besar dari pada mencuri.
Namun berbagai macam rumusan dikeluarkan oleh para ulama’ terkait dengan penyamun atau qath’u thariq. Menurut Imam Malik penyamun adalah penghambat jalan. Sedangkan menurut Imam Syafi’i, penyamun ialah menyatakan diri untuk mengambil barang orang atau untuk membunuh. Adapun menurut Ulama Dzahiriyah, penyamun berarti menakut-nakuti orang di jalan. Akan tetapi mereka sepakat bahwa penyamun adalah orang yang mengangkat senjata dan menghambat di jalanan dengan niat untuk mengambil harta orang lain.
Menyamun/merampok/merompak disamping mendapatkan hukuman dunia, perbuatan tersebut juga mendapat hukuman di akhirat yaitu berupa adzab yang pedih. Firman Allah SWT :
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar . (Q.S. al-Maidah: 33)
B.     Unsur-unsur Menyamun ( Hirabah )
1.      Unsur umum
  1. al-Rukn al-Syar’i (Unsur Formil), yaitu adanya nash yang melarang perbuatan-perbuatan tertentu yang disertai ancaman hukuman atas perbuatan jarimah.
  2. Al-Rukn al-Madi (Unsur Material), yaitu adanya unsur perbuatan yang berbentuk jarimah, baik berupa melakukan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diharuskan.
  3. Al-Rukn al-Adabi (Unsur MoriL), yaitu pelaku kejahatan adalah orang yang dapat memahami taklif, dalam artian pelaku kejahatan adalah mukallaf. Sehingga pelaku kejahatan dapat dituntut atas kejahatan yang mereka lakukan.
2.      Unsur Khusus
Yaitu, Unsur yang hanya berlaku didalam satu jarimah dan tidak sama dengan unsur khusus jarimah lainnya, adapun di dalam tindak pidana hirabah unsur khususnya adalah:
  1. Lokasi hirabah yang dilakukan oleh pelakunya harus di tempat yang jauh dari tempat keramaian. Semisal di padang rumput yang jauh, di gunung, atau tempat yang sangat jauh dari lokasi penduduk. Jika tindakan itu dilakukan di tempat keramaian, maka namanya bukan tindak pidana hirabah, akan tetapi perampasan biasa. Sebab yang disebut dengan hirabah adalah penyamunan, atau perampokan yang dilakukan di jalan-jalan. Akan tetapi, bila mereka melakukan tindakan pembunuhan, perampasan harta, dan teror di tempat-tempat keramaian, maka tindakan mereka dianggap sebagai hirabah dan berhak dijatuhi sanksi had. Ini adalah pendapat mayoritas ‘ulama Fiqh, Abu Hanifah, Abu Tsaur, dan lain-lain.
  2. Pelaku membawa senjata yang dapat digunakan untuk membunuh, semisal, pedang, senapan, golok, dan lain-lain yang bisa menghilangkan nyawa orang lain. Namun Imam Syafi’i dan Abu Tsaur menjelaskan bahwa jika mereka telah menggunakan tongkat-tongkat atau batu-batu maka mereka sudah termasuk dalam memanggul senjata juga.
  3. Dilakukan dengan cara terang-terangan. Mereka merampas harta dengan paksa dan terang-terangan, dan biasanya mereka memiliki markas. Jika mereka mengambil harta dengan cara sembunyi-sembunyi mereka disebut suraaq (pencuri-pencuri). Jika mereka merampas kemudian melarikan diri, mereka disebut penjambret.
C.    Pelaku Tindak Pidana Penyamun (Hirabah)
Hirabah bisa dilakukan oleh sekelompok orang atau perorangan yang mampu melakukannya.  Imam Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal mensyaratkan pelaku membawa senjata atau barang yang sejenis dengannya, seperti tongkat, batu, balok kayu. Imam Malik, Imam Syafi’I, Ulama Dzahiriyah, dan Ulama Syi’ah Zaidiyah tidak mensyaratkan pelaku membawa senjata. Menurut mereka, muharib cukup menghandalkan kekuatannya. Imam Malik bahkan menganggap muharib cukup dilakukan dengan tipu daya tanpa menggunakan kekuatan dan dalam keadaan tertentu menggunakan anggota tubuh, seperti meninju dan memukul dengan kepalan tangan. Bisa dicontohkan muharib yang melakukan dengan tipu daya, yaitu seperti kejadian perampokan sang pelaku mengaku sebagai polisi.
Muharib adalah setiap pelaku langsung atau pelaku tidak langsung tindak pidana hirabah. Barang siapa mengambil harta, membunuh atau menakut-nakuti orang, ia adalah muharib (perampok/pelaku gangguan keamanan). Barang siapa membantu tindak pidana hirabah, baik dengan memberi dorongan, membuat kesepakatan, atau membantu, ia adalah muharib. Muharib (perampok/pengganggu keamanan) disyaratkan mukallaf dan terikat dengan hukum islam. Syarat ini disepakati oleh para ulama kecuali ulama Dzahiriyah. Mereka tidak mensyaratkan apapun selain mukallaf. Alasannya, kafir dzimmi yang melakukan hirabah berarti merusak perjanjiannya. Jika di antara muharib ada anak belum dewasa atau orang gila, Imam Abu Hanifah dan Ahmad menafikan hukuman hudud atas keduanya karena mereka bukan orang yang berhak atas hukuman hudud. Hukuman hudud juga dihapuskan atas orang selain keduanya daripada pelaku hirabah, baik itu pelaku hirabah secara langsung atau tidak langsung, maupun orang yang membantu melakukan hirabah.
D.      Pandangan Ulama’ Terhadap Tempat Berlakunya Hukuman Hirabah
Agar pelaku penyamun (hirabah) dijatuhi hukuman hudud, Imam Abu Hanifah mensyaratkan hirabah terjadi di Negara Islam. Jika hirabah terjadi di Negara non-Islam, hukuman hudud tidak diwajibkan karena orang yang melaksanakan hukuman hudud yaitu penguasa, tidak memiliki kekuasaan di Negara tersebut, padahal di Negara itulah tindak pidana terjadi. Pendapat ini juga dianut oleh ulama Imam Syi’ah Zaidiyah. Sedangkan Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal, dan ulama Dzahiriyah mewajibkan hukuman hudud, baik atas hirabah yang terjadi di Negara Islam maupun di Negara non-Islam, selama perbuatan tersebut dianggap terjadi (berstatus) tindak pidana. Artinya, perbuatan tersebut menimpa orang muslim atau orang kafir dzimmi yang mendapat jaminan keamanan dari beberapa muslim (dzimmi musta’man) atau kafir dzimmi secara umum  mendapat jaminan keamanan dari Negara).
Imam Abu Hanifah mensyaratkan hirabah tidak terjadi di dalam kota atau jauh dari pemukiman. Jika terjadi dikota, tidak ada hukuman hudud atas pelaku, baik hirabah terjadi di siang hari maupun malam hari, baik bersenjata maupun tidak. Pendapat ini di dasarkan pada istihsan. Imam Abu Hanifah beralasan bahwa hirabah biasanya tidak terjadi di kota, tetapi dijalan penghubung antara desa atau kota. Abu Yusuf berpendapat bahwa hirabah yang terjadi baik di kota maupun di luar kota tetap akan di kenakan hukuman hudud, Abu Yusuf beralasan demikian karena memegang atas hukum yang aslinya. pasir dan kota. Tindak pidana hirabah bisa terjadi di padang pasir maupun di kota. Akan tetapi, Imam Malik mensyaratkan perbuatan tersebut terjadi didalam kondisi dimana korban tidak mungkin meminta pertolongan. Jika korban dilarang meminta tolong dan pertolongan sebenarnya mungkin didapat jika ia meminta tolong, perbuatan pelaku dianggap hirabah.
Untuk dapat dikatagorikan sebagai hirabah, Imam Syafi’i mensyaratkan agar perbuatan tersebut, korban tidak mungkin meminta pertolongan. Menurut kami, hirabah itu juga bisa dikatagorikan jikalau jauhnya tempat kejadian dari kota dan pemerintah, lemahnya orang yang ada di tempat kejadian, baik itu kerabat, pemerintah, maupun korban sendiri karena dihalangi untuk meminta pertolongan. Menurut penulis bahwa, tempat berlakunya hukuman terhadap perampokan itu bisa saja terjadi di Negara Islam atau Negara non-muslim. Banyak perbedaan pendapat tentang tempat berlakunya hukuman, disini penulis menanggapi juga kalau perbedaan pendapat tersebut tidak salah satu sama lainnya, dikarenakan semuanya itu mengeluarkan pendapat pada kasus kejadian dimana mereka berada. Bisa berlaku hukuman di Negara Islam bisa juga berlaku hukuman di Negara non-Islam, andaikan saja kalau pemerintah di Negara non-Islam tersebut mempunyai kekuasaan yang kuat terhadap memberlakukan hukuman tersebut. Seperti kedua contoh yang tadi. Bahwa contoh itu menunjukkan perampokan terjadi di Negara non-Islam, yaitu di Negara Indonesia, yang mana di Negara Indonesia ini bukan hanya orang Islam saja yang tinggal, tapi juga non-Islam.
E.     Hukuman Terhadap Tindak Pidana penyamun (Hirabah)
Mengenai hukuman tindak pidana hirabah sudah dijelaskan oleh syara’ dan terdapat dalam surat al-Maidah ayat 33. Didalam ayat ini menerangkan bahwa:
1.       Jika mereka membunuh orang yang setingkat dengan mereka dengan sengaja dan tanpa hak serta tidak mengambil harta benda, maka mereka harus di hukum bunuh. Jika mereka membunuh tanpa sengaja atau mirip sengaja atau membunuh sengaja orang yang tidak sederajat dengan mereka, maka mereka tidak di bunuh.
2.     Jika mereka membunuh dan mengambil harta bena nisab pencurian atau lebih banyak, maka mereka dibunuh dan digantung/disalib dengan kayu atau sejenisnya. Namun setelah mereka di mandikan, dikafani dan disalati.
3.     Jika mereka mengambil harta benda nisab pencurian atau lebih banyak dari tempat penyimpanannya dan tidak ada syubhat bagi mereka, namun tidak membunuh, maka tangan dan kaki mereka di potong berlainan. Maksudnya, pertama kali tangan kanan dan kaki kiri mereka dipotong. Jika mereka membegal lagi, maka tangan kanan dan kaki kiri mereka dipotong. Jika tangan–tangan atau kaki kiri tidak ada, maka cukup memotong aggota badan yang ada menurut pendapat yang lebih shahih.
4.      Jika mereka menakut-nakuti orang yang melewati jalan dan tidak merampas harta benda serta tidak membunuh orang, maka mereka dipenjara di selain tempat mereka atau dibuang dan dita’zir. Yang memenjara dan mena’zir mereka adalah pemerintah (Al-Bigha, 2002:424).
Yang demikian itu, yakni hukuman yang diberikan kepada pelaku tindak pidana hirabah merupakan suatu penghinaan untuk mereka di dunia, sehingga selain mereka yang tadinya bermaksud jahat atau orang lain yang ingin melakukan kejahatan yang sama akan tercegah untuk melakukan tindakan tersebut. Selain hukuman di dunia mereka juga akan menerima hukuman di akhirat jika mereka tidak bertaubat, hukuman di akhirat berupa siksaan yang sangat besar. Dengan demikian, belumlah habis hukuman yang mereka terima, karena di akhirat perkaranya akan dibuka lagi dan akan diterimanya azab yang pedih (Hamka, 1982:297). Ini membuktikan bahwa dosa orang-orang ini sangatlah besar. Di atas dunia mereka membuat keonaran, kerusakan dan menimbulkan ketidaktentraman bagi masyarakat sehingga mereka dihukum dengan cara yang setimpal sesuai dengan hak-hak manusia, begitu juga di akhirat dia akan menerima balasan lagi karena yang diperangi oleh mereka adalah Allah dan Rasul-Nya.
Adanya hukuman yang telah mereka terima karena perbuatannya di dunia, ini bukan berarti hukuman mereka berhenti di sini. Melainkan di akhirat nanti perkaranya akan dibuka kembali dan akan diterimanya adzab yang sangat pedih. Ini bisa dijadikan bukti yang sangat otoritatif bahwa perbuatan dan dosa-dosa mereka memang sangat besar. Yakni apa yang telah Kusebutkan mengenai dibunuhnya mereka dan disalibnya mereka serta tangan dan kaki mereka dipotong secara bersilang serta dibuangnya mereka dari Negara tempat tinggalnya, hal tersebut merupakan kehinaan bagi mereka di mata manusia dalam kehidupan dunia ini (Ad-Dimasyqi, 2003: 413). Hukuman pada ayat ini ditetapkan sedemikian berat, karena dari segi gangguan keamanan yang dimaksud itu selain ditujukan kepada umum juga kerap kali mengakibatkan pembunuhan, perampasan, pengrusakan dan lain-lain. Oleh sebab itu kesalahan-kesalahan ini oleh siapapun tidak boleh diberi ampunan. Orang-orang yang mendapat hukuman sebagaimana dimaksud pada ayat ini selain dipandang hina di dunia, mereka di akhirat nanti diancam dengan siksa yang amat besar (Al-Jawi, 2009:202). 
F.     Pembuktian Tindak Pidana Penyamun (Hirabah)
Ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa tindakan pidana hirabah adalah merupakan salah satu tindak pidana yang proses pembuktiannya harus dilakukan melalui gugatan korban pidana tersebut pada hakim. Untuk itu pihak korban harus dapat membuktikan tindak pidana ini, adapun alat bukti yang digunakan untuk tindak pidana hirabah ini adalah kesaksian dan pengakuan. Alat bukti saksi yang di ajukan itu adalah dua orang laki-laki, adapun untuk pembuktian melalui pengakuan, menurut jumhur jumhur ulama cukup satu kali pengakuan saja, karena seseorang tidak mungkin mengakui suatu perbuatan yang tidak dilakukannya. Namun ulama Mazhab Hambali dan Imam Abu Yusuf mengatakan pengakuan itu harus dilakukan sebanyak dua kali.
G.    Pelaksanaan Hukuman terhadap Penyamun
Sesuai dengan Q.S. al-Maidah ayat 33 bahwa hukuman orang yang melakukan jarimah hirabah adalah dengan dibunuh, atau disalib, atau dipotong tangan dan kakinya dengan cara berselang-seling, atau diasingkan dari tempat tinggal asalnya. Maka pelaksanaan hukumannya adalah sebagai berikut:
Pertama: Hukum bunuh, yaitu dilakukan dengan cara sehebat-hebatnya dan berwibawa. Berdasarkan hadits Rasulullah SAW. hendaklah kalau melakukan hukuman bunuh itu dengan cara sebaik-baiknya, yaitu dengan cepat dan jitu.
Kedua: Hukum salib, yaitu dilakukan dengan membuat kayu palang, lalu pelaku hirabah dinaikkan ke kayu palang itu, dan dibiarkan di sana sampai mati, atau dibunuh setelah beberapa waktu dia disalib. Maksudnya ialah supaya terlebih dahulu disaksikan oleh orang banyak. Barangkali hukuman yang kedua ini lebih berat dari hukuman yang pertama. Dalam hal hukuman yang kedua ini para ulama’ masih berselisih pendapat, apakah hukuman salib dilakukan dalam keadaan si pelaku dalam keadaan masih hidup, lalu dibiarkan mati tanpa diberi minum, atau dibunuh dengan tombak dan senjata lainnya, ataukah dibunuh terlebih dahulu kemudian disalib, apakah masa penyalibannya selama tiga hari lalu diturunkan, ataukah dibiarkan sampai sampai nanahnya keluar mengalir dari tubuhnya (Ad-Dimasyqi, 2003:411).
Ketiga: Dipotong tangan dan kakinya beselang -seling. Artinya, kalau tangan kanannya dipotong , maka hendaklah kaki kirinya yang dipotong, begitu pula sebaliknya. Orang ini boleh dibiarkan hidup dengan tangan atau kakinya yang hilang sebelah menyebelah dan berpincang-pincang.
Keempat: Dibuang dari bumi. Ini adalah hukuman yang seringa-ringannya dari keempat hukuman di atas, karena kesusahannya lebih ringan dari antara gerombolan itu. Misalnya dia hanya turut membantu, yang dapat ditilik dan diteliti dengan seksama oleh Hakim. Dalam hukuman yang keempat ini para Ulama’-ulama’ Fiqh pun memberikan berbagai pendapat. Sebagian mengatakan usir keluar dari negeri itu dan tidak boleh tinggal di sana lagi. Kalau mereka berdua atau bertiga , maka dipisah-pisahkan tempat mereka dibuang, supaya mereka tidak bisa bersekongkol lagi. Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa maksud dibuang dari bumi dalah dipenjarakan. Masukkanlah ke dalam penjara, karena cara pembuangan ini telah masuk dalam masalah ijtihadiyah juga, keduanya itu bisa dilakukan. Sebagian dari ulama’ lainnya mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah “pelaku yang dibuang dari negeri tempat tinggalnya ke negeri lain, atau hubungan muamalah dengannya diputuskan sama sekali oleh sultan atau wakilnya, tidak boleh ada seorangpun yang bermuamalah dengannya”. Tempat yang paling relevan denga konteks kekinian adalah Nusakambangan yang lokasinya jauh, terpencil dan tidak mudah untuk meninggalkannya serta jauh dari hiruk pikuk kesibukan manusia (Syihab, 2001:78). Imam Hanafi ini juga berpendapat bahwa makna dari diasingkan itu adalah dibuang sambil dipenjarakan. Hal ini telah diaplikasikan di Indonesia yaitu terjadi tndak pidana perampokan (hirabah) di Banda Aceh dan pelakunya di penjarakan di Semarang serta dipekerjakan di belakang tembok penjara.
H.    Pengecualian Hukuman Terhadap Tindak Pidana Penyamun (Hirabah)
Hukuman yang ada dalam tindak pidana hirabah dapat terhapus karena sebab-sebab yang menghapuskannya, hal ini sudah dijelaskan dalam Q.S. al-Maidah ayat 34,
“Kecuali orang-orang yang bertaubat (diantara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Di dalam ayat ini terdapat pengecualian bagi mereka yang insyaf dan bertaubat kepada Allah sebelum tertangkap. Dia bertobat dengan sebenar-benarnya taubat, tidak bercampur lagi dengan gerombolan penjahat itu dan menarik diri dari kelompoknya serta betul-betul dia Tubatan Nasuha. Tentu saja bukti taubat itu harus ditunjukkannya, yaitu dengan menyerahkan diri kepada yang berkuasa, mengakui kesalahannya dan mulai memperbaiki hidup. Maka hukuman-hukuman itu bolehlah tidak dilakukan lagi terhadap dirinya, setelah Hakim menyelidiki bahwa telah benar taubatnya, baik taubat sendiri maupun dengan semuanya. Jika Hakim melihat dan menimbang bahwa taubat mereka telah benar, maka hukum tidak dijatuhkan lagi kepada mereka. Tetapi harta benda orang yang telah mereka rusak dan rampas harus dan wajib diganti (Quthb, 2004:30).
Bila perampoknya bertobat setelah ditangkap, maka tobatnya tidak dapat menghapuskan hukuman, baik hukuman yang berkaitan dengan hak hamba. Hal ini disebabkan karena:
1.     Tobat sebelum ditangkap itu adalah tobat yang ikhlas, yakni muncul dari hati nurani untuk menjadi orang yang benar. Sedangkan tobat setelah ditangkap pada umumnya takut terhadap ancaman hukuman yang dikenakan kepadanya.
2.     Tobat sebelum ditangkap muncul karena kecenderungan perampok itu untuk meninggalkan perbuatan yang membawa kerusakan di muka bumi, sedangkan tobat setelah ditangkap prinsip kecenderungan ini tidak tampak karena tidak ada kesempatan lagi baginya untuk mengubah atau melestarikan tingkah laku jahatnya.
Perampok dianggap telah bertobat bilamana ia datang kepada imam dengan segala keikhlasan dan ketaatan sebelum ditangkap. Apabila selain merampok ia juga minum khamr dan atau mencuri, maka hukuman kedua tindak pidana yang terakhir ini tidak dapat hapus karena tobatnya. Demikian juga menurut Imam Zhahiri, Imam Malik, dan pendapat yang rajih dalam mazhab Syafi’i. Mereka beralasan bahwa ayat-ayat yang mengancam pezina dan pencuri itu bersifat umum, yakni baik bertobat maupun tidak (Jazuli, 1997:93). Dan juga berdasarkan kasus Ma’iz dan Ghamidiyah yang datang kepada Nabi tetapi dijatuhi hukuman. Sehubungan dengan itu Rasulullah SAW. bersabda:
لقد تاب توبة لو قسمت على سبعين من أهل المدينة لوسعتهم
“Ia telah tobat yang sebenar-benarnya dan seandainya tobatnya itu dibagi bagikan kepada tujuh puluh orang penduduk Madinah, niscaya seluruh penduduk Madinah itu akan mendapatkannya” (HR. Muslim dari Imran bin Hushein).
Menurut Imam Abu Hanifah taubat itu dapat menghapuskan hukuman seluruh jarimah yang berkaitan dengan hak Allah berdasarkan suarat an-Nisa’ ayat 16 dan al-Maidah ayat 39.
Ada pendapat ketiga, yaitu pendapat Inbu Taimiyah dan Ibnu Qayyim dari Madzhab Hambali yang menyatakan bahwa tobat itu membersihkan diri dari maksiat dan menghapuskan hukuman dalam tindak pidana yang berkaitan dengan Allah. Kecuali bila pelaku maksiat ingin membersihkan diri dengan dijatuhi hukuman (Jazuli, 1997:94).
Hukuman yang diterapkan di Indonesia dalam hal tobat ini selain tindak pidana perampokan, mirip dengan pendapat Imam Malik dan pendapat yang rajih dalam Madzhab Syafi’i bahwa tobat tidak menghapuskan hukuman.
Maka sudah jelas bahwa para perampok, penyamun dan pengganggu keamanan yang hukumannya telah dijelaskan pada ayat 33 di atas, jika mereka bertobat sebelum ditangkap oleh pihak penguasa, maka bagi mereka tidak berlaku lagi hukuman-hukuman yang tertera dalam ayat 33, yang menurut syari’at disebut “Hududullah”, dan juga tidak dilakukan lagi terhadap mereka hukuman yang lain seperti had, hukum sariqah dan hukum jinayah. Keringanan yang diberikan kepada orang yang bertaubat itusesuai dengan sifat Allah Yang Maha Pengampun dan Maha penyayang.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari paparan materi diatas menyimpulkan bahwa Menyamun adalah mengambil harta milik orang lain secara paksa dengan menggunakan kekerasan, ancaman senjata dan terkadang disertai penganiayaan dan pembunuhan yang dilakukan di tempat-tempat sunyi. Namun berbagai macam rumusan dikeluarkan oleh para ulama’ terkait dengan penyamun atau qath’u thariq. Menurut Imam Malik penyamun adalah penghambat jalan. Sedangkan menurut Imam Syafi’i, penyamun ialah menyatakan diri untuk mengambil barang orang atau untuk membunuh. Adapun menurut Ulama Dzahiriyah, penyamun berarti menakut-nakuti orang di jalan. Akan tetapi mereka sepakat bahwa penyamun adalah orang yang mengangkat senjata dan menghambat di jalanan dengan niat untuk mengambil harta orang lain.
B.     Saran
a.         Hindarilah tindakan Menyamun.
b.        Memahami pengertian Mencuri dan menyamun dalam hukum islam.
c.         Dapat melaksanakan hukum islam yang sebenarnya pada tindakan mencuri, menyamun.




DAFTAR PUSTAKA

Al-Bigha, Muthofa Dieb, Al-Fiqh Al-Islamiy, Surabaya, Insan Amanah, 2004.
Ad-Dimasyqi Al-Imam Abul Fida Ismail Ibnu Kasir, Tafsir Ibnu Kasir, Cet II,
Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2003.
Al-Jawi , Muhammad Nawawi, Tafsir Al-Munir, Al-Haramain Jaya Indonesia, 2009.
An Na’im, Abdullah Ahmad, Dekonstruksi Syari’ah, Yogyakarta: LkiS, 2001.




No comments:

Post a Comment

Post Popular

Makalah Maulid Nabi Muhammad SAW 1

MAULID NABI MUHAMMAD SAW Diajukan untuk memenuhi   s alah satu tugas m ata p elajaran Sejarah Kebudayaan Islam ...