Kumpulan Makalah Terlengkap, Tutorial Dapodik, Tutorial PMP, Perangkat Pembelajaran Kurikulum KTSP 2006 Dan KTSP 2013 SD

Search

Thursday, December 27, 2018

MAKALAH TENTANG BUGHAT 1


MAKALAH  TENTANG BUGHAT
Diajukan untuk memenuhi salahsatu tugas mata pelajaran Fiqih
Guru Mapel : ……………………………….



Oleh :

1.      MELAN FITRIA
2.      MELI NOVIANTI
3.      WANDI
4.      HANIF MUSLIM



DEPARTEMEN AGAMA
MADRASAH ALIYAH NEGERI 4 GARUT
TAHUN PELAJARAN 2017-2018


KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatu...
 Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah  ini dengan judul “Bughat serta tak lupa pula kami haturkan shalawat serta salam kepada junjungan Nabi kita Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman jahilia, dari zaman kebodohan menuju zaman yang sekarang ini yakni zaman yang penuh denga ilmu pengetahuan dan teknologi.
Perdamaian adalah salah satu prinsip yang ditanamkan oleh ajaran Islam kepada kaum muslimin, karena kata Islam yang menjadi nama agama berasal dari kata As-Salaam yang artinya perdamaian. Karena As-salam dan Al-islam itu sama-sama bertujuan menciptakan ketentraman, keamanan, dan ketenangan. Akan tetapi jika hubungan yang semestinya terjalin itu menjadi pecah,dan putusnya tali persaudaraan, sehingga sebagian berbuat dzalim kepada yang lain, maka pada saat itu kaum bughat (pemberontak) wajib diperangi.
Dalam pembuatan makalah ini kami sangat menyadari bahwa baik dalam penyampaian maupun penulisan masih banyak kekurangannya untuk itu saran dan kritik dari berbagai pihak sangat kami harapkan untuk penunjang dalam pembuatan makalah kami berikutnya.
 Wassalamualaikum Warahmatullah Wabarakatu...


Garut, .....................2017
                                                                                     
  Penyusun 

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ………………………………………………..............................i
Daftar Isi ………………………………………………………...........................ii
Bab I. Pendahuluan  …………………………………………..............................1
Bab II. Pembahasan  …………………………………………..............................3
Bab III. Penutup ………………………………………………. ..........................13
Daftar Pustaka  ………………………………………………..............................14


BAB I
PENDAHULUAN
A.   LATAR BELAKANG
Perdamaian adalah salah satu prinsip yang ditanamkan oleh ajaran Islam kepada kaum muslimin, karena kata Islam yang menjadi nama agama berasal dari kata As-Salaam yang artinya perdamaian. Karena As-salam dan Al-islam itu sama-sama bertujuan menciptakan ketentraman, keamanan, dan ketenangan. Akan tetapi jika hubungan yang semestinya terjalin itu menjadi pecah,dan putusnya tali persaudaraan, sehingga sebagian berbuat dzalim kepada yang lain, maka pada saat itu kaum bughat (pemberontak) wajib diperangi. Pemberontakan menurut arti bahasa adalah mencari atau menuntut sesuatu . Sedangkan menurut istilah terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulama mazhab yang berbeda-beda.
1.      Imam Al-Mawardi mendefinisikan pemberontakan adalah segala larangan syara’ (melakukan hal-hal yang dilarang dan meninggalkan hal-hal yang diwajibkan) yang diancam dengan hukuman had atau ta’zir.
2.      Sedangkan ulama syafi’i mengartikan pemberontakan adalah orang-orang muslim yang menyalahi imam dengan cara tidak mentaatinya dan melepaskan diri darinya atau menolak kewajiban dengan memiliki kekuatan, argumentasi, dan pikiran.
Dalam hal ini, antara perampokan dengan pemberontakan terdapat beberapa kemiripan. Sehubungan dengan adanya kemiripan tersebut, maka orang-orang yang memerangi Allah dan Rasulnya dan tidak mau tunduk kepada pemerintahan di bagi menjadi tiga kelompok, yaitu :
1.      orang-orang yang membangkang tanpa alasan, baik dengan menggunakan kekuatan maupun tidak dengan kekuatan, mereka mengintimidasi, mengambil harta, dan membunuh korbannya. Mereka ini termasuk kelompok perampok.
2.      Orang-orang yang membangkang tetapi mereka tidak memiliki kekuatan, meskipun mereka mempunyai alasan. Mereka juga termasuk kelompok perampok.
3.      Orang-orang yang membangkang kepada pemerintahan yang sah dengan alasan pemerintahannya menyeleweng, melakukan maksiat, dan lain-lain yang oleh mereka dianggap bertentangn dengan prinsip-prinsip Islam, lalu mereka menggunakan kekuatan untuk mencapai tujuannya. Mereka inilah yang disebut dengan pelaku pemberontakan.

B.  RUMUSAN MASALAH
A.    Apa itu Bughah (Pemberontakan)?
B.     Apa unsur-unsur Bughah (Pemberontakan)?
C.     Apa hukuman kaum Bughah (Pemberontakan)?
C.  TUJUAN
1.      Agar kita mengetahui apa itu bughah
2.      Agar kita mengetahui Apa unsur-unsur bughah
3.      Agar kita mengetahui Apa hukuman bagi bughah

BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN BUGHAH (PEMBERONTAKAN)
1.      Konsep Bughah Dalam Islam
Pengertian Bughah mengikuti istilah syara` adalah “Segolongan umat Islam yang melawan dan mendurhakai terhadap Ulil Amri (imam) yaitu pemerintah atau kerajaan yang adil yang menjalankan hukum-hukum syariat Islam.’ (Kifayah al-Akhyar, jild 2 hal 122)
Bughah mengikut istilah ilmu tata negara adalah “perbuatan sekumpulan dan segolongan umat Islam yang memberontak untuk menentang dan mendurhakai kepada ulil amri yang dinamakan jarimah siyasah( yaitu suatu kesalahan dalam politik)”.( Qanun Jinayah Syariyyah, hal 129)
2.      Bughah Menurut al-Quran dan Sunnah
Bughah dalam pandangan Islam ada disentuh pada ayat 9 surah al-Hujurat yang bermaksud;
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ …
“Dan sekiranya dua kumpulan orang beriman saling berperang maka damaikanlah antara kedua-duanya, jika salah satu kumpulan telah menceroboh ke atas kumpulan yang lain maka perangilah kumpulan yang menceroboh itu sehingga ia kembali kepada Allah (dengan meninggalkan perbuatan menceroboh). Jika ia telah kembali, maka damaikanlah kedua-duanya dengan adil dan berlaku saksamalah, sesungguhnya Allah suka orang yang melakukan kesaksamaan”
Sementara Al-Sunnah terdapat beberapa penjelasan terhadap perbuatan Bughah.
Antaranya adalah seperti berikut;
1.      Daripada Abdullah bin Umar r.a. bahawa Rasulullah s.a.w. bersabda yang bermaksud;
Siapa yang telah menghulurkan tangan dan hatinya (memberi bai`ah atau kesetiaan) kepada seseorang pemimpin, maka hendaklah dia mentaatinya selagi termampu. Sekiranya datang seorang lain yang coba menentangnya (memerangi pemimpin yang dibai`ah itu) maka pancunglah kepala penentangnya itu”. Riwayat Muslim
2.      Daripada Ibn Abbas r.a. bahawa Rasulullah s.a.w. bersabda yang maksudnya ;
“Siapa yang melihat sesuatu perkara yang ia tidak sukai daripada ketuanya maka hendaklah dia bersabar. Sesungguhnya siapa yang berpisah daripada jamaah walaupun sejengkal lalu dia mati maka matinya adalah mati jahiliah”.  HR al-Bukhari dan Muslim
3.      Dari pada `Awf bin Malik al-Asja`i, beliau berkata yang bermaksud :
Aku dengar Rasulullah s.a.w. bersabda; Sebaik-baik pemimpin kamu ialah yang kamu kasihi mereka dan mereka kasihi kamu, kamu mendoakan mereka dan mereka mendoakan kamu. Seburuk-buruk pemimpin ialah pemimpin yang kamu benci dan mereka bencikan kamu, kamu melaknat mereka dan mereka melaknat kamu. Kami berkata; Wahai Rasulullah s.a.w., bolehkah kami memerangi mereka? Baginda menjawab; Jangan selagi mereka bersembahyang bersama kamu kecuali orang yang diperintah oleh seorang pemimpin yang melakukan maksiat maka hendaklah dia membenci maksiat yang dilakukannya itu dan janganlah sekali-kali kamu mencabut ketaatan”. (Riwayat Muslim dan Ahmad)
4.      Daripada Huzayfah bin al-Yaman r.a. berkata yang bermaksud bahawa Rasulullah s.a.w. bersabda; Akan ada selepasku para pemimpin yang tidak mengikut petunjukku dan tidak melakukan sunnahku. Akan ada di kalangan kamu pemimpin yang hatinya seperti hati syaitan dalam jasad manusia. Aku (Huzaifah) bertanya; Bagaimana harus aku lakukan jika aku sempat hidup dalam suasana itu ya Rasulullah. Jawab baginda; Kamu dengar dan taat walaupun dia menyebat kamu dan mengambil harta kamu, hendaklah kamu dengar dan taat. (Riwayat Muslim, al-Baihaqi dan lain-lain)
5.      Daripada Ubadah bin al-Somit beliau berkata yang bermaksud; Kami telah membaiah Rasulullah s.a.w. untuk dengar dan taat dalam keadaan kami suka atau benci, kami senang atau susah, mengutamakan pemimpin daripada diri kami dan untuk tidak menentang pemimpin melainkan terdapat kekufuran yang jelas hukumnya dalam agama Allah. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)
6.      Daripada Abu Zar bahawa Rasulullah s.a.w. berkata yang bermaksud; Wahai Abu Zar, bagaimanakah kamu sekiranya nanti kamu berada di bawah pemimpin yang tamak dan tidak membahagikan harta harta al-fai` ini?. Jawab Abu Zar; Demi Allah yang mengutuskan tuan dengan kebenaran, aku akan pikulkan pedang atas bahuku dan memeranginya sehingga aku bertemu tuan. Baginda pun bersabda; Mahukah jika aku tunjukkan kepadamu yang lebih baik daripada itu? Iaitu engkau bersabar sehingga engkau menemuiku. (Riwayat Imam Ahmad, dalam sanadnya terdapat perawi bernama Khalid bin Wahaban , Ibnu Hibban menthiqahkannya manakala Abu Hatim pula mengatakannya majhul)
3.      Bughah Menurut Pandangan Ulama
1.      Imam Ghazali r.h. dalam kitabnya al-Iqtisad fi al-I`tiqad mengatakan”….persoalan-persoalan ini membangkitkan pertentangan dan sesiapa yang dapat menghindarkan diri daripadanya lebih selamat daripada orang yang mencampuri atau terlibat dalamnya, meskipun pendirian yang diambilnya benar, apa lagi jika memilih jalan yang salah…”
2.      Ibn Abi al-`Iz pula berkata,…”adapun wali al-Amri berkemungkinan ia menyuruh supaya tidak taat kepada Allah S.W.T., ia tidak boleh ditaati melainkan dalam lingkungan taat kepada Allah S.W.T. dan Rasul-Nya. Adapun kemestian taat kepada mereka (dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah S.W.T.) walaupun mereka zalim ialah kerana tidak mentaati mereka akan mengakibatkan kerosakan yang berganda-ganda melebihi yang dihasilkan daripada kezaliman mereka. Bahkan sabar terhadap kezaliman mereka mengkifaratkan dosa-dosa, menambahkan pahala. Allah S.W.T tidak menurunkan orang zalim ke atas kita melainkan kerana kerosakan perbuatan kita. Balasan adalah sesuai dengan amalan. Maka kita hendaklah berusaha bersungguh-sungguh beristighfar, bertaubat dan memperbaiki amalan. Firman Allah S.W.T. yang berbunyi :
“Atau setiap kali musibah menimpa kamu, sesungguhnya Ia telah menimpa kamu musibah yang seumpamanya. Kamu bertanya, dari manakah musibah ini. Katakanlah wahai Muhammad ia datang daripada diri kamu sendiri”. (Ali Imran ayat 165)
Dan Allah S.W.T. berfirman  yang bermaksud;
“Dan demikianlah Kami menempatkan orang zalim sebagai wali kepada orang zalim sepertinya, sebagai hasil kerja-kerja yang mereka lakukan”. (Al-An`am ayat 129)
Apabila rakyat mau membebaskan diri daripada kezaliman pemerintah mereka maka mereka hendaklah meninggalkan kezaliman yang sedang mereka lakukan”. (Syarh al-`Aqidati al-Tohawiyah, juz 2, hal. 542,)
3.      Syeikh Muhammad bin Abdullah bin Sabil berkata, “…kesabaran ke atas kezaliman imam (pemerintah) selain daripada yang wajib dari segi syarak adalah lebih ringan mudharatnya daripada bangun menentangnya dan menggugurkan ketaatan daripada mereka. Ini kerana natijah terhadap penentangan terhadap mereka membawa kerosakan yang sangat besar. Kemungkinan bangun menentang mereka akan membawa fitnah yang berpanjangan dan merebak kemudharatannya yang membawa pertumpahan darah, mencabuli kehormatan, merampas harta benda dan lain-lain lagi kemudaratan yang banyak dan musibah yang besar ke atas negara dan rakyat”.( al-Adillatu al-Syar`iyyah fi Bayani Haqqi al-Raa`iyyah. Riyadh)
4.      Budaya `isyan bukanlah budaya Islam, menurut ahli sunnah wal jamaah kerana ia adalah daripada sifat-sifat iblis. Jika berlaku kezaliman daripada pemerintah, apa yang mesti dilakukan ialah menjalankan gerakan mengislah rakyat supaya memperbaiki kerosakan yang mereka lakukan kerana kezaliman pemerintah itu adalah diutus oleh Allah S.W.T. sebagai balasan atas kerja-kerja jahat yang mereka lakukan. Apabila rakyat berjalan di atas landasan yang benar dan berada dalam keadaan yang diredhai oleh Allah S.W.T. maka Allah S.W.T. akan menarik balasannya dengan memilih dan melantik orang yang adil menjadi pemerintah mereka.
Rasulullah s.a.w. bersabda yang bermaksud;
“Sesungguhnya akan berlaku selepas zaman kamu kekecohan dan perkara-perkara yang tidak menyenangkan kamu. Sahabat-sahabat bertanya, apakah yang patut kami lakukan? Baginda bersabda, “kamu hendaklah menunaikan hak-hak yang wajib ke atas kamu melaksanakannya dan memohon kepada Allah hak-hak yang diperuntukkan kepada kamu.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)
Al-Nawawi berkata, “hadits ini menggesa supaya mendengar dan taat walaupun orang yang memerintah itu zalim. Maka berilah hak ketaatan kepadanya dan jangan menentangnya dan jangan melucutkan jawatannya, bahkan hendaklah berdoa kepada Allah S.W.T. supaya menarik balik siksaan-Nya, berusaha menolak kejahatan dan menjalankan usaha islah”. (Syarh al-Nawawi li Sahih al-Muslim, juz 12, hlm. 232)
5.      Sahl bin Abdullah al-Tastari berkata, “…manusia sentiasa berada dalam kebaikan selama mana mereka membesarkan pemerintah dan ulama`. Jika mereka membesarkan kedua-dua institusi ini, Allah akan memperbaiki dunia dan akhirat mereka dan jika mereka merendahkan kedua-dua institusi ini, binasalah dunia dan akhirat mereka”. (al-Jami` li Ahkam al-Quran, juz 5 hal. 260)
B.     UNSUR-UNSUR BUGHAH (PEMBERONTAKAN)
Unsur-unsur pemberontakan ada tiga, yaitu:
1.      Pembangkangan terhadap kepala Negara (imam)
Pengertian membangkang adalah menentang kepala Negara dan berupaya untuk menghentikannya, atau menolak untuk melaksanakan kewajiban sebagai warga Negara. Kewajiban atau hak tersebut bisa merupakan hak Allah yang ditetapkan untuk kepentingan masyarakat, dan bisa juga berupa hak individu yang ditetapkan untuk kepentingan perorangan, contohnya seperti penolakan untuk membayar zakat, penolakan untuk melaksannakan putusan hakim. Tetapi berdasarkan kesepakatan para fuqaha, penolakan untuk tunduk kepada pemerintahan yang menjurus kepada kemaksiatan, bukan merupakan pemberontakan, melainkan merupakan suatu kewajiban, karena ketaatan tidak diwajibkan kecuali apabila seorang imam (kepala Negara) memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan syarat maka tidak ada kewajiban bagi siapa pun untuk menaatinya.
2.      Pembangkangan dilakukan dengan menggunakan kekuatan
Apabila sikap tersebut tidak disertai dengan penggunaan kekuatan maka hal itu tidak dianggap sebagai pemberontakan. Contohnya seperti keenggangan untuk membaiat seorang imam, setelah ia didukung oleh suata mayoritas, walupun ia mengajak orang lain untuk memecat imam tersebut, dan ia tidak tunduk kepadanya, atau menolak untuk melaksanakan kewajiban tetapi baru sebatas ajakan semata. Contohnya seperti pembangkangan kelompok khawarij dari Sayyidina Ali. Mereka tidak dianggap sebagai pemberontak, sampai mereka mewujudkan sikapnya itu dengan menggunakan kekuatan. Jadi, apabila baru sebatas ide, sikap tersebut belum termasuk pemberontakan.
Akan tetapi terdapat dua pendapat yang berbeda, yang mana Imam Maliki, Imam Syafi’I, dan Imam Ahmad setuju dengan pendapat di atas, sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, pemberontakan itu sudah dimulai sejak mereka berkumpul untuk menghimpun kekuatan dengan maksud untuk berperang dan membangkang terhadap imam, bukan menunggu sampai terjadinya penyerangan secara nyata. Karena kalau sudah terjadi, maka sulit untuk menolak dan menumpasnya.
3.      Adanya niat yang melawan hukum.
Disyaratkan bahwa pelaku bermaksud untuk mencopot (menggulingkan) imam, atau tidak mentaatinya, atau menolak untuk melaksanakan kewajiban yang dibebankan oleh syara’. Dengan demikian, apabila niat atau tujuan pembangkangannya itu untuk menolak kemaksiatan, pelaku tidak dianggap sebagai pemberontakan.
Adapun pendapat lain mengatakan, bahwa suatu golongan dikatakan pemberontak jika terdapat sifat-sifat sebagai berikut:
• tidak mentaati perintah yang adil yang diwajibkan Allah atas kaum muslimin     sebagai waliul amri
• mereka adalah jama’ah yang kuat dan bersenjata
• mereka mempunyai alasan kuat untuk keluar dari islam
• mereka mempunyai pemimpin yang ditaati sebagai sumber kekuatan mereka.
C.    HUKUMAN KAUM BUGHAH (PEMBERONTAKAN)
Para ulama telah sepakat bahwa tindakan pemberontakan yang dilakukan oleh sebagian kaum muslim haruslah ditumpas. Memerangi mereka itu wajib hukumnya, yang mana tindakan mereka itu dapat di pandang sebagai hukuman. Dasar hukum untuk pemberontakan ini yaitu dalam Surat Al-Hujuraat ayat 9 : “Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah, jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”.
Ayat itu menjelaskan, jika ada orang mukmin saling bermusuhan, maka jama’ah yang memiliki kebijaksanaan wajib segera campur tangan untuk mendamaikannya. Sekiranya salah satu golongan membangkang, tidak mau berdamai atautidak memenuhi ajakan damai, maka golongan itu haruslah diperangi.
Para ahli fiqh sepakat bahwa mereka yang membangkang itu belum keluar dari islam karena pembangkangannya, berdasarkan ayat Al-Qur’an yang berbunyi, “dua golongan orang-orang mukmin”, dan juga dijelaskan bahwa pemberontakan tidaklah menghilangkan keimanan. Sewaktu Ali ditanyakan apakah mereka (lawan Ali) itu orang musyrik?. Ali berkata bukanlah mereka itu orang musyrik. Apakah mereka itu orang munafik? Ali menjawab : bukan, sebab orang munafik tidak menyebut nama Allah kecuali sekali. Kalau begitu apakah hal mereka itu?. Ali berkata : saudara-saudara kita yang memberontak kepada kita.
Karena itu, Para ulama fiqh berpendapat bahwa:
1.      mereka yang lari dari golongan itu tidak boleh diperangi,
2.      orang yang terluka tidak boleh dibunuh,
3.      harta mereka tidak boleh dijadikan ghonimah,
4.      istri-istri dan keluarga mereka tidak boleh ditawan,
5.      segala kerusakan akibat pertempuran tidak boleh dijadikan jaminan, baik itu berbentuk jiwa ataupun harta
Jika terdapat dari kalangan mereka yang terbunuh, maka wajib dimandikan, dikafankan, dan dishalatkan. Jika yang terbunuh dari golongan adil maka ia menjadi syahid. Tida perlu dimandikan dan dishalatkan karena ia gugur di dalam menegakkan perintah Allah.
Kalau di teliti dari ketentuan Al-Qur’an pad syrat Al-Hujuraat : 9, tampaklah kedudukan yang sama antara pihak pemberontak dan yang diberontak kedua-duanya disebut golongan mukmin, dan Al-Qur’an memerintah untuk memerangi pihak yang melampaui batas, apakah mereka itu yang memberontak atau yang diberontak. Kalau yang diberontak mempunyai kekuatan dan takwil, dan dalam peperangn kalah, mereka juga diperlakukan seperti pihak pemberontak. Oleh karena itu dalam peristiwa peperangn antara Ali dan Muawiyah para ulama tidak menyebut-nyebut siapakah sebenarnya yang memberontak dari yang diberontak. Keduanya mempunyai kekuatan dan takwil. Secara yuridis formil Ali adalah kholifah sebab ia dipilih dalam suatu bai;ah, dan kaenanya wajib dipatuhi. Tetapi secara yuridis formil pula Muawiyah memppunyai takwil tidak mematuhi Ali sebab Ali tidak mau mengusut siapa pembunuh Ustman, jadi perkembangan sejarahlah yang menentukan dalam hal seperti tersebut diatas.
Ulama Hanafi tidak menggolongkan pemberontaka itu termasuk hudud, karena kalau diperhatikan tindak-tindak hukum yang dikenakan pada para pemberontak ternyata tidak ada ketentuan hukum haad pada mereka, hanya memerangi mereka sehingga mau kembali taat.
 
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pengertian Bughah mengikuti istilah syara` adalah “Segolongan umat Islam yang melawan dan mendurhakai terhadap Ulil Amri (imam) yaitu pemerintah atau kerajaan yang adil yang menjalankan hukum-hukum syariat Islam.’ Bughah mengikut istilah ilmu tata negara adalah “perbuatan sekumpulan dan segolongan umat Islam yang memberontak untuk menentang dan mendurhakai kepada ulil amri yang dinamakan jarimah siyasah( yaitu suatu kesalahan dalam politik
Pemerintah  yang dhalim adalah pemerintah yang  semena-mena dalam membuat kebijakan hingga masyarakat tedhalimi dengan banyaknya korupsi, kolusi, nepotisme, pemerasan, lebih berpihak kepada orang kafir dll. Pemerintahan yang dhalim itu boleh diganti dan diturunkan, cara menurunkan pemerintah ini pun harus dilakukan dengan cara yang baik, jangan sampai berniat menghindari satu kedhaliman dengan melakukan kedhaliman yang lebih besar.
DAFTAR PUSTAKA

Hasanuddin. Nor, Lc, Ma, dkk, Fiqh Sunnah 3 ,Jakarta, Pena Pundi Aksara, 2006
Marsum. Drs, Jinayat, Yogyakarta, UII Yogyakarta, 1991
Wardi Muslich. Ahmad, Drs, H, Hukum Pidana Islam, Jakarta, 2005
http//anakaceh.com








No comments:

Post a Comment

Post Popular

Makalah Maulid Nabi Muhammad SAW 1

MAULID NABI MUHAMMAD SAW Diajukan untuk memenuhi   s alah satu tugas m ata p elajaran Sejarah Kebudayaan Islam ...