MAKALAH TENTANG BUGHAT
Diajukan untuk memenuhi salahsatu
tugas mata pelajaran Fiqih
Guru Mapel : ……………………………….
Oleh :
1.
MELAN FITRIA
2.
MELI NOVIANTI
3.
WANDI
4.
HANIF MUSLIM
DEPARTEMEN AGAMA
MADRASAH ALIYAH NEGERI 4 GARUT
TAHUN PELAJARAN 2017-2018
KATA
PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatu...
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
makalah ini dengan judul “Bughat” serta tak lupa pula kami haturkan
shalawat serta salam kepada junjungan Nabi kita Muhammad SAW yang telah membawa
kita dari zaman jahilia, dari zaman kebodohan menuju zaman yang sekarang ini
yakni zaman yang penuh denga ilmu pengetahuan dan teknologi.
Perdamaian adalah salah satu prinsip yang ditanamkan oleh
ajaran Islam kepada kaum muslimin, karena kata Islam yang menjadi nama agama
berasal dari kata As-Salaam yang artinya perdamaian. Karena As-salam dan
Al-islam itu sama-sama bertujuan menciptakan ketentraman, keamanan, dan
ketenangan. Akan tetapi jika hubungan yang semestinya terjalin itu menjadi
pecah,dan putusnya tali persaudaraan, sehingga sebagian berbuat dzalim kepada
yang lain, maka pada saat itu kaum bughat (pemberontak) wajib diperangi.
Dalam pembuatan makalah ini kami sangat menyadari bahwa baik
dalam penyampaian maupun penulisan masih banyak kekurangannya untuk itu saran
dan kritik dari berbagai pihak sangat kami harapkan untuk penunjang dalam
pembuatan makalah kami berikutnya.
Wassalamualaikum Warahmatullah Wabarakatu...
Garut, .....................2017
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
………………………………………………..............................i
Daftar Isi ………………………………………………………...........................ii
Bab I. Pendahuluan
…………………………………………..............................1
Bab II. Pembahasan …………………………………………..............................3
Bab III. Penutup ……………………………………………….
..........................13
Daftar Pustaka ………………………………………………..............................14
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perdamaian adalah salah satu prinsip yang ditanamkan oleh
ajaran Islam kepada kaum muslimin, karena kata Islam yang menjadi nama agama
berasal dari kata As-Salaam yang artinya perdamaian. Karena As-salam dan
Al-islam itu sama-sama bertujuan menciptakan ketentraman, keamanan, dan
ketenangan. Akan tetapi jika hubungan yang semestinya terjalin itu menjadi
pecah,dan putusnya tali persaudaraan, sehingga sebagian berbuat dzalim kepada
yang lain, maka pada saat itu kaum bughat (pemberontak) wajib diperangi.
Pemberontakan menurut arti bahasa adalah mencari atau menuntut sesuatu .
Sedangkan menurut istilah terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh
ulama mazhab yang berbeda-beda.
1. Imam Al-Mawardi mendefinisikan pemberontakan
adalah segala larangan syara’ (melakukan hal-hal yang dilarang dan meninggalkan
hal-hal yang diwajibkan) yang diancam dengan hukuman had atau ta’zir.
2. Sedangkan ulama syafi’i
mengartikan pemberontakan adalah orang-orang muslim yang menyalahi imam dengan
cara tidak mentaatinya dan melepaskan diri darinya atau menolak kewajiban
dengan memiliki kekuatan, argumentasi, dan pikiran.
Dalam hal ini, antara perampokan dengan pemberontakan terdapat beberapa kemiripan. Sehubungan dengan adanya kemiripan tersebut, maka orang-orang yang memerangi Allah dan Rasulnya dan tidak mau tunduk kepada pemerintahan di bagi menjadi tiga kelompok, yaitu :
Dalam hal ini, antara perampokan dengan pemberontakan terdapat beberapa kemiripan. Sehubungan dengan adanya kemiripan tersebut, maka orang-orang yang memerangi Allah dan Rasulnya dan tidak mau tunduk kepada pemerintahan di bagi menjadi tiga kelompok, yaitu :
1. orang-orang yang membangkang tanpa
alasan, baik dengan menggunakan kekuatan maupun tidak dengan kekuatan, mereka
mengintimidasi, mengambil harta, dan membunuh korbannya. Mereka ini termasuk
kelompok perampok.
2. Orang-orang yang membangkang tetapi
mereka tidak memiliki kekuatan, meskipun mereka mempunyai alasan. Mereka juga
termasuk kelompok perampok.
3. Orang-orang yang
membangkang kepada pemerintahan yang sah dengan alasan pemerintahannya
menyeleweng, melakukan maksiat, dan lain-lain yang oleh mereka dianggap
bertentangn dengan prinsip-prinsip Islam, lalu mereka menggunakan kekuatan
untuk mencapai tujuannya. Mereka
inilah yang disebut dengan pelaku pemberontakan.
B. RUMUSAN MASALAH
A. Apa itu Bughah (Pemberontakan)?
B. Apa unsur-unsur Bughah (Pemberontakan)?
C. Apa hukuman kaum Bughah (Pemberontakan)?
C. TUJUAN
1. Agar kita mengetahui apa
itu bughah
2. Agar kita mengetahui Apa
unsur-unsur bughah
3. Agar kita mengetahui Apa
hukuman bagi bughah
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN BUGHAH (PEMBERONTAKAN)
1.
Konsep Bughah Dalam Islam
Pengertian Bughah mengikuti istilah
syara` adalah “Segolongan umat Islam yang melawan dan mendurhakai terhadap Ulil
Amri (imam) yaitu pemerintah atau kerajaan yang adil yang menjalankan
hukum-hukum syariat Islam.’ (Kifayah al-Akhyar, jild 2 hal 122)
Bughah mengikut istilah ilmu tata
negara adalah “perbuatan sekumpulan dan segolongan umat Islam yang memberontak
untuk menentang dan mendurhakai kepada ulil amri yang dinamakan jarimah
siyasah( yaitu suatu kesalahan dalam politik)”.( Qanun Jinayah Syariyyah, hal 129)
2.
Bughah Menurut al-Quran dan Sunnah
Bughah dalam pandangan Islam ada
disentuh pada ayat 9 surah al-Hujurat yang bermaksud;
وَإِنْ
طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ
بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ
إِلَى أَمْرِ اللَّهِ …
“Dan sekiranya
dua kumpulan orang beriman saling berperang maka damaikanlah antara
kedua-duanya, jika salah satu kumpulan telah menceroboh ke atas kumpulan yang
lain maka perangilah kumpulan yang menceroboh itu sehingga ia kembali kepada
Allah (dengan meninggalkan perbuatan menceroboh). Jika ia telah kembali, maka
damaikanlah kedua-duanya dengan adil dan berlaku saksamalah, sesungguhnya Allah
suka orang yang melakukan kesaksamaan”
Sementara Al-Sunnah terdapat beberapa penjelasan terhadap
perbuatan Bughah.
Antaranya adalah seperti berikut;
1. Daripada Abdullah bin
Umar r.a. bahawa Rasulullah s.a.w. bersabda yang bermaksud;
Siapa
yang telah menghulurkan tangan dan hatinya (memberi bai`ah atau kesetiaan)
kepada seseorang pemimpin, maka hendaklah dia mentaatinya selagi termampu.
Sekiranya datang seorang lain yang coba menentangnya (memerangi pemimpin
yang dibai`ah itu) maka pancunglah kepala penentangnya itu”. Riwayat Muslim
2. Daripada Ibn Abbas r.a.
bahawa Rasulullah s.a.w. bersabda yang maksudnya ;
“Siapa yang melihat sesuatu perkara yang ia tidak sukai
daripada ketuanya maka hendaklah dia bersabar. Sesungguhnya siapa yang berpisah
daripada jamaah walaupun sejengkal lalu dia mati maka matinya adalah mati
jahiliah”. HR
al-Bukhari dan Muslim
3.
Dari pada `Awf bin Malik al-Asja`i, beliau berkata yang bermaksud :
“Aku dengar Rasulullah s.a.w. bersabda; Sebaik-baik
pemimpin kamu ialah yang kamu kasihi mereka dan mereka kasihi kamu, kamu
mendoakan mereka dan mereka mendoakan kamu. Seburuk-buruk pemimpin ialah
pemimpin yang kamu benci dan mereka bencikan kamu, kamu melaknat mereka dan
mereka melaknat kamu. Kami
berkata; Wahai Rasulullah s.a.w., bolehkah kami memerangi mereka? Baginda
menjawab; Jangan selagi mereka bersembahyang bersama kamu kecuali orang yang
diperintah oleh seorang pemimpin yang melakukan maksiat maka hendaklah dia
membenci maksiat yang dilakukannya itu dan janganlah sekali-kali kamu mencabut
ketaatan”. (Riwayat
Muslim dan Ahmad)
4.
Daripada Huzayfah bin al-Yaman r.a. berkata yang bermaksud bahawa Rasulullah
s.a.w. bersabda; Akan ada selepasku para pemimpin yang tidak mengikut
petunjukku dan tidak melakukan sunnahku. Akan ada di kalangan kamu pemimpin
yang hatinya seperti hati syaitan dalam jasad manusia. Aku (Huzaifah) bertanya;
Bagaimana harus aku lakukan jika aku sempat hidup dalam suasana itu ya
Rasulullah. Jawab baginda; Kamu dengar dan taat walaupun dia menyebat kamu dan
mengambil harta kamu, hendaklah kamu dengar dan taat. (Riwayat Muslim,
al-Baihaqi dan lain-lain)
5.
Daripada Ubadah bin al-Somit beliau berkata yang bermaksud; Kami telah
membaiah Rasulullah s.a.w. untuk dengar dan taat dalam keadaan kami suka atau
benci, kami senang atau susah, mengutamakan pemimpin daripada diri kami dan
untuk tidak menentang pemimpin melainkan terdapat kekufuran yang jelas hukumnya
dalam agama Allah. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)
6.
Daripada Abu Zar bahawa Rasulullah s.a.w. berkata yang bermaksud; Wahai Abu
Zar, bagaimanakah kamu sekiranya nanti kamu berada di bawah pemimpin yang tamak
dan tidak membahagikan harta harta al-fai` ini?. Jawab Abu Zar; Demi Allah yang
mengutuskan tuan dengan kebenaran, aku akan pikulkan pedang atas bahuku dan
memeranginya sehingga aku bertemu tuan. Baginda pun bersabda; Mahukah jika aku
tunjukkan kepadamu yang lebih baik daripada itu? Iaitu engkau bersabar sehingga
engkau menemuiku. (Riwayat Imam Ahmad, dalam sanadnya terdapat perawi
bernama Khalid bin Wahaban , Ibnu Hibban menthiqahkannya manakala Abu Hatim
pula mengatakannya majhul)
3.
Bughah
Menurut Pandangan Ulama
1. Imam Ghazali r.h. dalam
kitabnya al-Iqtisad fi al-I`tiqad mengatakan”….persoalan-persoalan ini
membangkitkan pertentangan dan sesiapa yang dapat menghindarkan diri
daripadanya lebih selamat daripada orang yang mencampuri atau terlibat
dalamnya, meskipun pendirian yang diambilnya benar, apa lagi jika memilih jalan
yang salah…”
2. Ibn Abi al-`Iz pula
berkata,…”adapun wali al-Amri berkemungkinan ia menyuruh supaya tidak taat
kepada Allah S.W.T., ia tidak boleh ditaati melainkan dalam lingkungan taat
kepada Allah S.W.T. dan Rasul-Nya. Adapun kemestian taat kepada mereka (dalam
perkara yang bukan maksiat kepada Allah S.W.T.) walaupun mereka zalim ialah
kerana tidak mentaati mereka akan mengakibatkan kerosakan yang berganda-ganda
melebihi yang dihasilkan daripada kezaliman mereka. Bahkan sabar terhadap kezaliman mereka
mengkifaratkan dosa-dosa, menambahkan pahala. Allah S.W.T tidak menurunkan
orang zalim ke atas kita melainkan kerana kerosakan perbuatan kita. Balasan
adalah sesuai dengan amalan. Maka kita hendaklah berusaha bersungguh-sungguh
beristighfar, bertaubat dan memperbaiki amalan. Firman Allah S.W.T. yang berbunyi :
“Atau setiap kali musibah menimpa
kamu, sesungguhnya Ia telah menimpa kamu musibah yang seumpamanya. Kamu
bertanya, dari manakah musibah ini. Katakanlah wahai Muhammad ia datang
daripada diri kamu sendiri”. (Ali Imran ayat 165)
Dan
Allah S.W.T. berfirman yang bermaksud;
“Dan
demikianlah Kami menempatkan orang zalim sebagai wali kepada orang zalim
sepertinya, sebagai hasil kerja-kerja yang mereka lakukan”. (Al-An`am ayat
129)
Apabila rakyat mau membebaskan diri daripada kezaliman
pemerintah mereka maka mereka hendaklah meninggalkan kezaliman yang sedang
mereka lakukan”. (Syarh al-`Aqidati al-Tohawiyah, juz 2, hal. 542,)
3.
Syeikh Muhammad
bin Abdullah bin Sabil berkata, “…kesabaran ke atas kezaliman imam (pemerintah)
selain daripada yang wajib dari segi syarak adalah lebih ringan mudharatnya
daripada bangun menentangnya dan menggugurkan ketaatan daripada mereka. Ini kerana natijah terhadap
penentangan terhadap mereka membawa kerosakan yang sangat besar. Kemungkinan
bangun menentang mereka akan membawa fitnah yang berpanjangan dan merebak
kemudharatannya yang membawa pertumpahan darah, mencabuli kehormatan, merampas
harta benda dan lain-lain lagi kemudaratan yang banyak dan musibah yang besar
ke atas negara dan rakyat”.( al-Adillatu al-Syar`iyyah fi Bayani Haqqi
al-Raa`iyyah. Riyadh)
4.
Budaya `isyan bukanlah budaya Islam, menurut ahli sunnah wal jamaah kerana ia
adalah daripada sifat-sifat iblis. Jika berlaku kezaliman daripada pemerintah,
apa yang mesti dilakukan ialah menjalankan gerakan mengislah rakyat supaya
memperbaiki kerosakan yang mereka lakukan kerana kezaliman pemerintah itu
adalah diutus oleh Allah S.W.T. sebagai balasan atas kerja-kerja jahat yang
mereka lakukan. Apabila rakyat berjalan di atas landasan yang benar dan berada
dalam keadaan yang diredhai oleh Allah S.W.T. maka Allah S.W.T. akan menarik
balasannya dengan memilih dan melantik orang yang adil menjadi pemerintah
mereka.
Rasulullah
s.a.w. bersabda yang bermaksud;
“Sesungguhnya akan berlaku selepas zaman kamu kekecohan dan
perkara-perkara yang tidak menyenangkan kamu. Sahabat-sahabat bertanya, apakah
yang patut kami lakukan? Baginda bersabda, “kamu hendaklah menunaikan hak-hak
yang wajib ke atas kamu melaksanakannya dan memohon kepada Allah hak-hak yang
diperuntukkan kepada kamu.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)
Al-Nawawi berkata, “hadits ini menggesa supaya mendengar dan
taat walaupun orang yang memerintah itu zalim. Maka berilah hak ketaatan
kepadanya dan jangan menentangnya dan jangan melucutkan jawatannya, bahkan
hendaklah berdoa kepada Allah S.W.T. supaya menarik balik siksaan-Nya, berusaha
menolak kejahatan dan menjalankan usaha islah”. (Syarh al-Nawawi li Sahih
al-Muslim, juz 12, hlm. 232)
5.
Sahl bin Abdullah al-Tastari berkata, “…manusia sentiasa berada dalam kebaikan
selama mana mereka membesarkan pemerintah dan ulama`. Jika mereka membesarkan
kedua-dua institusi ini, Allah akan memperbaiki dunia dan akhirat mereka dan
jika mereka merendahkan kedua-dua institusi ini, binasalah dunia dan akhirat
mereka”. (al-Jami` li Ahkam al-Quran, juz 5 hal. 260)
B. UNSUR-UNSUR BUGHAH (PEMBERONTAKAN)
Unsur-unsur
pemberontakan ada tiga, yaitu:
1. Pembangkangan terhadap kepala Negara
(imam)
Pengertian
membangkang adalah menentang kepala Negara dan berupaya untuk menghentikannya,
atau menolak untuk melaksanakan kewajiban sebagai warga Negara. Kewajiban atau
hak tersebut bisa merupakan hak Allah yang ditetapkan untuk kepentingan
masyarakat, dan bisa juga berupa hak individu yang ditetapkan untuk kepentingan
perorangan, contohnya seperti penolakan untuk membayar zakat, penolakan untuk
melaksannakan putusan hakim. Tetapi berdasarkan kesepakatan para
fuqaha, penolakan untuk tunduk kepada pemerintahan yang menjurus kepada
kemaksiatan, bukan merupakan pemberontakan, melainkan merupakan suatu
kewajiban, karena ketaatan tidak diwajibkan kecuali apabila seorang imam
(kepala Negara) memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan syarat maka
tidak ada kewajiban bagi siapa pun untuk menaatinya.
2. Pembangkangan dilakukan dengan
menggunakan kekuatan
Apabila
sikap tersebut tidak disertai dengan penggunaan kekuatan maka hal itu tidak
dianggap sebagai pemberontakan. Contohnya seperti keenggangan untuk membaiat
seorang imam, setelah ia didukung oleh suata mayoritas, walupun ia mengajak
orang lain untuk memecat imam tersebut, dan ia tidak tunduk kepadanya, atau
menolak untuk melaksanakan kewajiban tetapi baru sebatas ajakan semata.
Contohnya seperti pembangkangan kelompok khawarij dari Sayyidina Ali. Mereka
tidak dianggap sebagai pemberontak, sampai mereka mewujudkan sikapnya itu
dengan menggunakan kekuatan. Jadi, apabila baru sebatas ide, sikap tersebut
belum termasuk pemberontakan.
Akan tetapi terdapat dua pendapat yang berbeda, yang mana
Imam Maliki, Imam Syafi’I, dan Imam Ahmad setuju dengan pendapat di atas,
sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, pemberontakan itu sudah dimulai sejak
mereka berkumpul untuk menghimpun kekuatan dengan maksud untuk berperang dan membangkang
terhadap imam, bukan menunggu sampai terjadinya penyerangan secara nyata. Karena kalau sudah terjadi, maka
sulit untuk menolak dan menumpasnya.
3. Adanya niat yang melawan hukum.
Disyaratkan bahwa pelaku bermaksud untuk mencopot
(menggulingkan) imam, atau tidak mentaatinya, atau menolak untuk melaksanakan
kewajiban yang dibebankan oleh syara’. Dengan demikian, apabila niat atau tujuan pembangkangannya
itu untuk menolak kemaksiatan, pelaku tidak dianggap sebagai pemberontakan.
Adapun
pendapat lain mengatakan, bahwa suatu golongan dikatakan pemberontak jika
terdapat sifat-sifat sebagai berikut:
• tidak mentaati perintah yang adil yang diwajibkan Allah
atas kaum muslimin sebagai waliul amri
•
mereka adalah jama’ah yang kuat dan bersenjata
•
mereka mempunyai alasan kuat untuk keluar dari islam
• mereka mempunyai pemimpin yang
ditaati sebagai sumber kekuatan mereka.
C. HUKUMAN KAUM BUGHAH (PEMBERONTAKAN)
Para ulama telah sepakat bahwa tindakan pemberontakan yang
dilakukan oleh sebagian kaum muslim haruslah ditumpas. Memerangi mereka itu
wajib hukumnya, yang mana tindakan mereka itu dapat di pandang sebagai hukuman.
Dasar hukum untuk pemberontakan ini yaitu dalam Surat Al-Hujuraat ayat 9 : “Dan
jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara
keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap
golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga
golongan itu kembali kepada perintah Allah, jika golongan itu telah kembali
(kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan
berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”.
Ayat itu menjelaskan, jika ada orang mukmin saling
bermusuhan, maka jama’ah yang memiliki kebijaksanaan wajib segera campur tangan
untuk mendamaikannya. Sekiranya salah satu golongan membangkang, tidak mau
berdamai atautidak memenuhi ajakan damai, maka golongan itu haruslah diperangi.
Para ahli fiqh sepakat bahwa mereka
yang membangkang itu belum keluar dari islam karena pembangkangannya,
berdasarkan ayat Al-Qur’an yang berbunyi, “dua golongan orang-orang mukmin”,
dan juga dijelaskan bahwa pemberontakan tidaklah menghilangkan keimanan. Sewaktu Ali ditanyakan apakah mereka
(lawan Ali) itu orang musyrik?. Ali berkata bukanlah mereka itu orang musyrik.
Apakah mereka itu orang munafik? Ali menjawab : bukan, sebab orang munafik
tidak menyebut nama Allah kecuali sekali. Kalau begitu apakah hal mereka itu?.
Ali berkata : saudara-saudara kita yang memberontak kepada kita.
Karena itu, Para ulama fiqh berpendapat bahwa:
1. mereka
yang lari dari golongan itu tidak boleh diperangi,
2. orang yang
terluka tidak boleh dibunuh,
3. harta mereka
tidak boleh dijadikan ghonimah,
4. istri-istri dan
keluarga mereka tidak boleh ditawan,
5. segala
kerusakan akibat pertempuran tidak boleh dijadikan jaminan, baik itu berbentuk
jiwa ataupun harta
Jika terdapat dari kalangan mereka yang terbunuh, maka wajib
dimandikan, dikafankan, dan dishalatkan. Jika yang terbunuh dari golongan adil
maka ia menjadi syahid. Tida perlu dimandikan dan dishalatkan karena ia gugur
di dalam menegakkan perintah Allah.
Kalau di teliti dari ketentuan
Al-Qur’an pad syrat Al-Hujuraat : 9, tampaklah kedudukan yang sama antara pihak
pemberontak dan yang diberontak kedua-duanya disebut golongan mukmin, dan
Al-Qur’an memerintah untuk memerangi pihak yang melampaui batas, apakah mereka
itu yang memberontak atau yang diberontak. Kalau yang diberontak mempunyai kekuatan dan takwil, dan
dalam peperangn kalah, mereka juga diperlakukan seperti pihak pemberontak. Oleh
karena itu dalam peristiwa peperangn antara Ali dan Muawiyah para ulama tidak
menyebut-nyebut siapakah sebenarnya yang memberontak dari yang diberontak. Keduanya
mempunyai kekuatan dan takwil. Secara yuridis formil Ali adalah kholifah sebab
ia dipilih dalam suatu bai;ah, dan kaenanya wajib dipatuhi. Tetapi secara
yuridis formil pula Muawiyah memppunyai takwil tidak mematuhi Ali sebab Ali
tidak mau mengusut siapa pembunuh Ustman, jadi perkembangan sejarahlah yang
menentukan dalam hal seperti tersebut diatas.
Ulama Hanafi tidak menggolongkan
pemberontaka itu termasuk hudud, karena kalau diperhatikan tindak-tindak hukum
yang dikenakan pada para pemberontak ternyata tidak ada ketentuan hukum haad
pada mereka, hanya memerangi mereka sehingga mau kembali taat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengertian Bughah mengikuti istilah
syara` adalah “Segolongan umat Islam yang melawan dan mendurhakai terhadap Ulil
Amri (imam) yaitu pemerintah atau kerajaan yang adil yang menjalankan
hukum-hukum syariat Islam.’ Bughah mengikut istilah ilmu tata negara adalah
“perbuatan sekumpulan dan segolongan umat Islam yang memberontak untuk
menentang dan mendurhakai kepada ulil amri yang dinamakan jarimah siyasah(
yaitu suatu kesalahan dalam politik
Pemerintah yang
dhalim adalah pemerintah yang semena-mena dalam membuat kebijakan hingga
masyarakat tedhalimi dengan banyaknya korupsi, kolusi, nepotisme, pemerasan,
lebih berpihak kepada orang kafir dll. Pemerintahan yang dhalim itu boleh
diganti dan diturunkan, cara menurunkan pemerintah ini pun harus dilakukan
dengan cara yang baik, jangan sampai berniat menghindari satu kedhaliman dengan
melakukan kedhaliman yang lebih besar.
DAFTAR PUSTAKA
Hasanuddin. Nor, Lc, Ma, dkk, Fiqh Sunnah 3 ,Jakarta, Pena
Pundi Aksara, 2006
Marsum. Drs, Jinayat, Yogyakarta, UII Yogyakarta, 1991
Wardi Muslich. Ahmad, Drs, H, Hukum Pidana Islam, Jakarta,
2005
http//anakaceh.com
No comments:
Post a Comment