Kumpulan Makalah Terlengkap, Tutorial Dapodik, Tutorial PMP, Perangkat Pembelajaran Kurikulum KTSP 2006 Dan KTSP 2013 SD

Search

Thursday, December 27, 2018

Contoh Makalah Tradisi Nyadran masyarakat Jawa Tengah


Tradisi Nyadran masyarakat Jawa Tengah

Diajukan untuk memenuhi  salah satu tugas mata pelajaran
Sejarah Kebudayaan Islam


 
  


Di Susun Oleh :

YULIYANTI
Kelas IX - E



PEMERINTAH KABUPATEN GARUT
DEPARTEMEN AGAMA
 MTsN 1 CISEWU
                                                                 2016



KATA PENGANTAR


Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan YANG MAHA ESA atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini yang berjudul “Tradisi Nyadran masyarakat Jawa Tengah ini dengan lancar.
Penulisan ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas yang diberikan oleh guru Sejarah Kebudayaan Islam.
Tugas ini ditulis dari hasil penyusunan data-data sekunder yang kami peroleh dari  informasi dari media massa yang berhubungan dengan “Tradisi Nyadran Masyarakat Jawa Tengah Tak lupa kami ucapkan terimakasih kepada ibu guru “ Sejarah Kebudayaan Islam atas bimbingan dan arahan dalam penulisan tugas ini. Juga kepada rekan-rekan  yang telah mendukung sehingga dapat menyelesaikan tugas ini.
Kami harap tugas ini dapat memberi manfaat bagi kita semua.Memang kami menyadari tugas ini masih jauh dari sempurna, maka kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan menuju arah yang lebih baik dan benar.

                                                                          Garut, ................... 2016
                                                                                     


  Penyusun 



DAFTAR ISI

Kata Pengantar ………………………………………………..............................i
Daftar Isi ………………………………………………………...........................ii
Bab I. Pendahuluan  …………………………………………..............................1
Bab II. Pembahasan  …………………………………………..............................2
Bab III. Penutup ………………………………………………. ..........................11
Daftar Pustaka  ………………………………………………..............................12



BAB I
PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang
Tradisi nyadran adalah tradisi masyarakat jawa pada umumnya yang setiap saat dilaksanakan khuusnya masyarakat tentang beragama Islam dengan adanya tradisi nyadran untuk mengajak masyarakat jawa untuk selau mengenang akan leluhurnya. Serta mengikuti ajaran dan norma-norama yang ada.
2.      Tujuan
Untuk mengenang dan besilaturahim dan menjaga kelestarian tradisi masyarakat jawa pada umumnya dan menjaga agar tradisi tersebut tidak hilang.


BAB II
PEMBAHASAN

1.      Tradisi Nyadran Masyarakat Jawa Tengah
            Bagi masyarakat Jawa, kegiatan tahunan yang bernama nyadran atau sadranan merupakan ungkapan refleksi sosial-keagamaan. Hal ini dilakukan dalam rangka menziarahi makam para leluhur. Ritus ini dipahami sebagai bentuk pelestarian warisan tradisi dan budaya para nenek moyang. Nyadran dalam tradisi Jawa biasanya dilakukan pada bulan tertentu, seperti menjelang bulan Ramadhan, yaituSya'banatauRuwah. Nyadran dengan ziarah kubur merupakan dua ekspresi kultural keagamaan yang memiliki kesamaan dalam ritus dan objeknya. Perbedaannya hanya terletak pada pelaksanaannya, di mana nyadran biasanya ditentukan waktunya oleh pihak yang memiliki otoritas di daerah, dan pelaksanaannyadilakukansecarakolektif. Tradisi nyadran merupakan simbol adanya hubungan dengan para leluhur, sesama, dan Yang Mahakuasa atas segalanya. Nyadran merupakan sebuah pola ritual yang mencampurkan budaya lokal dan nilai-nilai Islam, sehingga sangat tampak adanya lokalitas yang masih kentalislami. Budaya masyarakat yang sudah melekat erat menjadikan masyarakat Jawa sangat menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dari kebudayaan itu. Dengan demikian tidak mengherankan kalau pelaksanaan nyadran masih kental dengan budaya Hindhu-Buddha dan animisme yang diakulturasikan dengan nilai-nilai Islam oleh Wali Songo. Secara sosio-kultural, implementasi dari ritus nyadran tidak hanya sebatas membersihkan makam-makam leluhur, selamatan (kenduri), membuat kue apem, kolak, dan ketan sebagai unsur sesaji sekaligus landasan ritual doa. Nyadran juga menjadi ajang silaturahmi keluarga dan sekaligus menjadi transformasi sosial, budaya, dan keagamaan. Prosesi ritual nyadran biasanya dimulai dengan membuat kue apem, ketan, dan kolak. Adonan tiga jenis makanan dimasukkan ke dalam takir, yaitu tempat makanan terbuat dari daun pisang, di kanan kiri ditusuki lidi (biting). Kue-kue tersebut selain dipakai munjung/ater-ater (dibagi-bagikan) kepada sanak saudara yang lebih tua, juga menjadi ubarampe (pelengkap) kenduri. Tetangga dekat juga mendapatkan bagian dari kue-kue tadi. Hal itu dilakukan sebagai ungkapan solidaritas dan ungkapan kesalehan sosial kepada sesama.
Selesai melakukan pembersihan makam, masyarakat kampung menggelar kenduri yang berlokasi di sepanjang jalan menuju makam atau lahan kosong yang ada di sekitar makam leluhur (keluarga). Kenduri dimulai setelah ada bunyi kentongan yang ditabuh dengan kode dara muluk (berkepanjangan). Lalu seluruh keluarga dan anak-anak kecil serta remaja hadir dalam acara kenduri itu.
Tiap keluarga biasanya akan membawa makanan sekadarnya, beragam jenis, lalu duduk bersama dalam keadaan bersila. Kemudian, kebayan desa membuka acara, isinya bermaksud untuk mengucapkan rasa syukur dan terima kasih kepada warga yang sudah bersedia menyediakan makanan, ambengan, dan lain-lain termasuk waktunya. Setelah itu, Mbah Kaum (ulama lokal) yang sudah dipilih menjadi rois, maju untuk memimpin doa yang isinya memohon maaf dan ampunan atau dosa para leluhur atau pribadi mereka kepada Tuhan Yang Mahakuasa.
Doanya menggunakan tata cara agama Islam, warga dan anak-anak mengamini. Suasana ceria anak-anak tergambar dengan semangat melafalkan amin sambil berteriak. Selesai berdoa, semua yang hadir mencicipi makanan yang digelar. Pada saat itu ada yang tukar-menukar kue, ada yang asyik ngobrol dengan kanan-kiri, maklum beberapa warga pulang dari perantauan hadir dalam kenduri. Biasanya Mbah Kaum diberi uang wajib dan makanan secukupnya, sedangkan yang tak hadir atau si miskin diberi gandhulan, nasi, kue yang dikemas khusus kemudian diantar ke rumah yang sudah disepakati diberi gandhulan. Dari tata cara tersebut, jelas nyadran tidak sekadar ziarah ke makam leluhur, tetapi juga ada nilai-nilai sosial budaya, seperti budaya gotongroyong, guyub, pengorbanan, ekonomi. Bahkan, seusai nyadran ada warga yang mengajak saudara di desa ikut merantau dan bekerja di kota-kota besar.
Di sini ada hubungan kekerabatan, kebersamaan, kasih sayang di antara warga atau anggota trah. Di samping itu, semakin jelas adanya nilai transformasi budaya dan tradisi dari yang tua kepada yang muda. Mengenai pola keberagamaan yang ada di Jawa, C Geertz (1981) melalui penelitiannya di Mojokerto menghasilkan sebuah konsep keberagamaan masyarakat yang bersifat abangan, santri, dan priayi. Ketiganya merupakan akumulasi dari hasil akulturasi budaya lokal masyarakat, Hidhu-Buddha dengan nilai-nilai Islam. Pola interaksi antara budaya lokal dan nilai Islam menjadikan Islam warna-warni. Nyadran merupakan ekspresi dan ungkapan kesalehan sosial masyarakat di mana rasa gotong- royong, solidaritas, dan kebersamaan menjadi pola utama dari tradisi ini. Ungkapan ini pada akhirnya akan menghasilkan sebuah tata hubungan vertikal-horizontal yang lebih intim.
Dalam konteks ini, maka nyadran akan dapat meningkatkan pola hubungan dengan Tuhan dan masyarakat (sosial), sehingga akhirnya akan meningkatkan pengembangan kebudayaan dan tradisi yang sudah berkembang menjadi lebih lestari. Dalam konteks sosial dan budaya, nyadran dapat dijadikan sebagai wahana dan medium perekat sosial, sarana membangun jati diri bangsa, rasa kebangsaan dan nasionalisme (Gatot Marsono). Dalam prosesi ritual atau tradisi nyadran kita akan berkumpul bersama tanpa ada sekat-sekat dalam kelas sosial dan status sosial, tanpa ada perbedaan agama dan keyakinan, golongan ataupun partai.
Nyadran menjadi ajang untuk berbaur dengan masyarakat, saling mengasihi, saling menyayangi satu sama lain. Nuansa kedamaian, humanitas dan familiar sangat kental terasa. Apabila nyadran ditingkatkan kualitas jalinan sosialnya, rasanya Indonesia ini menjadi benar-benar rukun, ayom-ayem, dan tenteram.
Nyadran dalam konteks Indonesia saat ini telah menjelma sebagai refleksi, wisata rohani kelompok masyarakat di tengah kesibukan sehari-hari. Masyarakat, yang disibukkan dengan aktivitas kerja yang banyak menyedot tenaga sekaligus (terkadang) sampai mengabaikan religiusitas, melalui nyadran, seakan tersentak kesadaran hati nuraninya untuk kembali bersentuhan dan bercengkrama dengan nilai-nilai agama: Tuhan.
Bagi orang jawa, jawa tengah terutama, mungkin tidak asing dengan budaya nyadran. Ada 2 kegiatan utama dalam budaya nyadran:
·                      Besik kubur (bersih-bersih kuburan)
·                      Sanja (silaturrahim)
Budaya nyadran ini dilaksankan pada minggu terahir ‘sasi ruwah’ atau dalam kalender hijriyah namanya sya’ban, beberapa hari menjelang ‘sasi poso’ (ramadlan). Ada yang mengambil hari jum’at terahir sebelum ramadlan, tapi ada juga yang menentukan pada tanggal-tanggal tertentu di ‘sasi ruwah’.
Konon katanya budaya ini di cetuskan oleh sunan Kalijaga yang memang sering melakukan akulturasi budaya-budaya jawa pada saat itu yang didominasi budaya hindu dengan islam. Kata nyadran sendiri berasal dari bahasa arab ‘shodrun’ yang artinya secara bahasa adalah dada, sedangkan secara istilah yang dimaksud dada disini adalah hati yang berada di balik dada. Maksudnya, budaya nyadran ini dilakukan adalah sebagai sarana untuk membersihkan dan menata kembali hati agar siap untuk menghadapi bulan yang agung, bulan yang suci, bulan dimana dibuka pintu-pintu syurga, ditutup pintu-pintu neraka dan dibelenggunya para syeitan yang selalu menjadi musuh nyata bagi manusia.
2. Kegiatan-kegiatan pada budaya nyadran
BESIK KUBUR Dari Buraidah, Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Sesungguhnya dahulu saya melarang kamu ziarah ke kubur. Kemudian Muhammad telah mendapat izin berziarah ke kubur ibunya. Maka berziarahlah kamu, karena sesungguhnya ziarah itu mengingatkan kepada hari akhirat." (HR. Muslim, Abu Daud, dan Tirmidzi).
Dalam riwayat lain ‘karena sesungguhnya Ziarah itu mengingatkan kepada kematian’. Bukankah kita diperintahkan memeperbanyak dzikrul maut (mengingat mati)? Karena dengan dzikrul maut, kita akan semakin menyadari siapa diri kita dan bagaimana seharusnya kita membawa diri. Dengan dzikrul maut kita akan semakin dekat dengan Allah SWT.
Dengan mengingat hari akhirat kita akan sadar, bahwa apapun yang kita lakukan di dunia ini akan ada perhitungan di hari akhir nanti. Jika kita menanam kebaikan, kebaikanlah yang akan kita tuai, sebaliknya begitu juga kalau kita menanam keburukan, maka buruklah yang kita tuai.
Itulah tujuan mulia yang ada pada ziarah kubur dan itu pula salah satu tujuan di balik kegiatan besik kubur, ‘DZIKRUL MAUT’
SANJA (SILATURRAHIM)
“Maukah kalian aku tunjukkan akhlak yang paling mulia di dunia dan diakhirat? Memberi maaf orang yang mendzalimimu, memberi orang yang menghalangimu dan menyambung silaturrahim orang yang memutuskanmu” (HR. Baihaqi)
“Maukah kalian aku tunjukkan amal yang lebih besar pahalanya daripada salat dan saum?” Sahabat menjawab, “Tentu saja!” Rasulullah pun kemudian menjelaskan, “Engkau damaikan yang bertengkar, menyambungkan persaudaraan yang terputus, mempertemukan kembali saudara-saudara yang terpisah, menjembatani berbagai kelompok dalam Islam, dan mengukuhkan ukhuwah di antara mereka, (semua itu) adalah amal saleh yang besar pahalanya. Barangsiapa yang ingin dipanjangkan usianya dan dibanyakkan rezekinya, hendaklah ia menyambungkan tali persaudaraan” (HR. Bukhari-Muslim).
Dalam budaya nyadran, setelah besik kubur, biasanya orang-orang akan kembali kerumah masing-masing, setelah itu bersama-sama keluarga akan melakukan silaturrahim pada tetangga-tetangga dan kerabat-kerabat yang lebih tua scara nasab maupun secara usia. Tujuan silaturrahim ini, selain mempererat persaudaraan adalah untuk meminta maaf atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan baik sengaja maupun tidak disengaja, sehingga dalam bulan suci ramadlan nanti diri merekapun juga suci, telah bersih dengan ampunan Allah dan maaf dari sesama manusia.
Selain itu dalam kegiatan sanja ini juga ada unsur memuliakan tetamu atau tetangga-tetangga yang datang untuk silaturrahim dengan jamuan-jamuan yang istimewa. Bukankah rosul juga berpesan dalam haditsnya “Dari Abu Hurairah radhiallahuanhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia berkata baik atau diam, siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia menghormati tetangganya dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya” (HR. Bukhori dan Muslim).
POSITIFNYA:
Untuk mengajak masyarakat untuk seslalu mengenang para leluhurnya dan memberikan contoh kepada masyarakat bahwa manusia pada akhirnya akan meninggal seperti itu. Maka dari itu adanya tradisi nyadran ini untuk mengajak masyarakat bersilaturahim kepada leluhurnya. Disamping itu pada jaman agama hindhu-budha sesaji nyadran itu semua makanan selalu di tinggal begitu saja karena mereka beranggapan bahwa leluhurnya yang akan menghabiskan makanan itu setelah islam masuk di indonesia pada jaman para wali tradisi nyadran atau sesaji tidak di hilangkan, tetapi masyarakat diajaknya berdoa bersama untuk mendoakan para leluhur dan makanan sesaji itu dapat dimakan bersama-sama. Mulai saat itu tradisi nyadran masih dilaksanakan masyarakat jawa pada umumnya pada hari-hari tertentu. Disamping kita tidak melupakan para leluhur tetapi kita tidak menyia-nyiakan makanan sesaji.
NEGATIFNYA:
Budaya nyadran biasanya warga membiasakn diri membawa berbagai jenis makanan ke lokasi pemakaman. Pada tradisi di daerah kami makanan itu di letakkan di atas daun pisang yang tanpa alas. Sambil menunggu acara di mulai dan doa-doa disitu makanan banyak dikerumunin lalat dari segi kesehatan makanan yang di kerumuni lalat jelas-jelas tidak sehat dan bagi oang yang bertuas membagi-bagikan makanan belum tentu tangannya bersih. Apalagi saat berebut makanan,belum tentu tangan-tangan mereka bersih. Di saat mereka mengunsumsi makanan tersebut dapat berakibat sakit perut yang mungkin bisa membahayakan tubuh. Perlu diketahui kalau makanan itu tidak sehat, mengapa orang-orang masih mau memakannya dan itu hanya kena pengaruh adat istiadat, bahwasanya makanan yang sudah mengandung doa itu enak,aman tetapi di balik itu banyak penyakit yang mengancam dan orang-orang itu tanpa memikirkan akibatnya.


BAB III
PENUTUP

1.      Kesimpulan
Tradisi nyadran adalah Tradisi yang tidak harus di tinggalkan karena tradisi nyadran untuk mengajak masyarakat berbaur, besatu, dan menjalin silaturahim antar sesama manusia, leluhur. Menurut tradisi nyadran saat ini yang dilakukan masyarakat adalah tradisi yang dilaksanakan pada zaman wali songo selain mengajak masyarakat untuk sialaturahim tapi juga untuk menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan. Sehingga pola pikir manusia tidak menganggapnya sesuatu yang biasa, tetapi tradisi nyadran adalah sesuatu tradisi yang mempunyai sakral.
2.      Saran
Untuk menjaga kesetabialan kepada masyarakat dalam menjalankan tradisi nyadran maka setiap menjelang bulan Ramadhan, yaitu Sya'ban atau Ruwah jangan melupakan, karena itu untuk menjaga melestarikan yang diperuntukan bagi penduduk terutama yang beragama Islam. Maka dari itu rasa saling memiliki dan tanggung jawab diterapkan oleh masyarakat Islam sejak kecil, untuk selalu mengingat dan bersilaturahim kepada para leluhurnya.


Daftar Pustaka





No comments:

Post a Comment

Post Popular

Makalah Maulid Nabi Muhammad SAW 1

MAULID NABI MUHAMMAD SAW Diajukan untuk memenuhi   s alah satu tugas m ata p elajaran Sejarah Kebudayaan Islam ...