Tradisi Nyadran masyarakat Jawa Tengah
Diajukan untuk memenuhi
salah satu tugas mata pelajaran
Sejarah Kebudayaan
Islam
Di Susun Oleh :
YULIYANTI
Kelas IX - E
PEMERINTAH
KABUPATEN GARUT
DEPARTEMEN AGAMA
MTsN 1 CISEWU
2016
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan YANG MAHA ESA atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini yang
berjudul “Tradisi Nyadran masyarakat Jawa Tengah” ini dengan lancar.
Penulisan ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas yang diberikan oleh
guru Sejarah Kebudayaan Islam.
Tugas ini ditulis dari hasil penyusunan data-data sekunder yang kami
peroleh dari informasi dari media massa
yang berhubungan dengan “Tradisi Nyadran Masyarakat Jawa Tengah” Tak lupa kami ucapkan terimakasih kepada ibu guru “ Sejarah
Kebudayaan Islam” atas bimbingan dan arahan dalam penulisan tugas
ini. Juga kepada rekan-rekan yang telah
mendukung sehingga dapat menyelesaikan tugas ini.
Kami harap tugas ini dapat memberi manfaat bagi kita semua.Memang kami
menyadari tugas ini masih jauh dari sempurna, maka kami mengharapkan kritik dan
saran dari pembaca demi perbaikan menuju arah yang lebih baik dan benar.
Garut,
................... 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
………………………………………………..............................i
Daftar Isi
………………………………………………………...........................ii
Bab I. Pendahuluan
…………………………………………..............................1
Bab II. Pembahasan …………………………………………..............................2
Bab III. Penutup ……………………………………………….
..........................11
Daftar Pustaka ………………………………………………..............................12
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Tradisi nyadran adalah tradisi masyarakat jawa pada umumnya yang setiap
saat dilaksanakan khuusnya masyarakat tentang beragama Islam dengan adanya
tradisi nyadran untuk mengajak masyarakat jawa untuk selau mengenang akan leluhurnya.
Serta mengikuti ajaran dan norma-norama yang ada.
2.
Tujuan
Untuk mengenang dan besilaturahim dan menjaga kelestarian tradisi
masyarakat jawa pada umumnya dan menjaga agar tradisi tersebut tidak hilang.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Tradisi Nyadran
Masyarakat Jawa Tengah
Bagi
masyarakat Jawa, kegiatan tahunan yang bernama nyadran atau sadranan merupakan
ungkapan refleksi sosial-keagamaan. Hal ini dilakukan dalam rangka menziarahi
makam para leluhur. Ritus ini dipahami sebagai bentuk pelestarian warisan tradisi dan budaya para nenek moyang. Nyadran dalam tradisi Jawa biasanya dilakukan
pada bulan tertentu, seperti menjelang bulan Ramadhan, yaituSya'banatauRuwah. Nyadran dengan ziarah kubur merupakan dua ekspresi kultural keagamaan yang memiliki
kesamaan dalam ritus dan objeknya. Perbedaannya hanya terletak pada
pelaksanaannya, di mana nyadran biasanya ditentukan waktunya oleh pihak yang
memiliki otoritas di daerah, dan pelaksanaannyadilakukansecarakolektif. Tradisi
nyadran merupakan simbol adanya hubungan dengan para leluhur, sesama, dan Yang
Mahakuasa atas segalanya. Nyadran merupakan sebuah pola ritual yang
mencampurkan budaya lokal dan nilai-nilai Islam, sehingga sangat tampak adanya
lokalitas yang masih kentalislami. Budaya masyarakat yang sudah melekat erat
menjadikan masyarakat Jawa sangat menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dari
kebudayaan itu. Dengan demikian tidak mengherankan kalau pelaksanaan nyadran
masih kental dengan budaya Hindhu-Buddha dan animisme yang diakulturasikan
dengan nilai-nilai Islam oleh Wali Songo. Secara sosio-kultural, implementasi
dari ritus nyadran tidak hanya sebatas membersihkan makam-makam leluhur,
selamatan (kenduri), membuat kue apem, kolak, dan ketan sebagai unsur sesaji
sekaligus landasan ritual doa. Nyadran juga menjadi ajang silaturahmi keluarga
dan sekaligus menjadi transformasi sosial, budaya, dan keagamaan. Prosesi ritual
nyadran biasanya dimulai dengan membuat kue apem, ketan, dan kolak. Adonan tiga
jenis makanan dimasukkan ke dalam takir, yaitu tempat makanan terbuat dari daun
pisang, di kanan kiri ditusuki lidi (biting). Kue-kue tersebut selain dipakai
munjung/ater-ater (dibagi-bagikan) kepada sanak saudara yang lebih tua, juga
menjadi ubarampe (pelengkap) kenduri. Tetangga dekat juga mendapatkan bagian
dari kue-kue tadi. Hal itu dilakukan sebagai ungkapan solidaritas dan ungkapan
kesalehan sosial kepada sesama.
Selesai melakukan pembersihan makam, masyarakat kampung menggelar kenduri
yang berlokasi di sepanjang jalan menuju makam atau lahan kosong yang ada di
sekitar makam leluhur (keluarga). Kenduri dimulai setelah ada bunyi kentongan
yang ditabuh dengan kode dara muluk (berkepanjangan). Lalu seluruh keluarga dan
anak-anak kecil serta remaja hadir dalam acara kenduri itu.
Tiap keluarga biasanya akan membawa makanan sekadarnya, beragam jenis, lalu
duduk bersama dalam keadaan bersila. Kemudian, kebayan desa membuka acara,
isinya bermaksud untuk mengucapkan rasa syukur dan terima kasih kepada warga
yang sudah bersedia menyediakan makanan, ambengan, dan lain-lain termasuk
waktunya. Setelah itu, Mbah Kaum (ulama lokal) yang sudah dipilih menjadi rois,
maju untuk memimpin doa yang isinya memohon maaf dan ampunan atau dosa para
leluhur atau pribadi mereka kepada Tuhan Yang Mahakuasa.
Doanya menggunakan tata cara agama Islam, warga dan anak-anak mengamini.
Suasana ceria anak-anak tergambar dengan semangat melafalkan amin sambil
berteriak. Selesai berdoa, semua yang hadir mencicipi makanan yang digelar. Pada
saat itu ada yang tukar-menukar kue, ada yang asyik ngobrol dengan kanan-kiri,
maklum beberapa warga pulang dari perantauan hadir dalam kenduri. Biasanya Mbah
Kaum diberi uang wajib dan makanan secukupnya, sedangkan yang tak hadir atau si
miskin diberi gandhulan, nasi, kue yang dikemas khusus kemudian diantar ke
rumah yang sudah disepakati diberi gandhulan. Dari tata cara tersebut, jelas
nyadran tidak sekadar ziarah ke makam leluhur, tetapi juga ada nilai-nilai
sosial budaya, seperti budaya gotongroyong, guyub, pengorbanan, ekonomi.
Bahkan, seusai nyadran ada warga yang mengajak saudara di desa ikut merantau
dan bekerja di kota-kota besar.
Di sini ada hubungan kekerabatan, kebersamaan, kasih sayang di antara warga
atau anggota trah. Di samping itu, semakin jelas adanya nilai transformasi
budaya dan tradisi dari yang tua kepada yang muda. Mengenai pola keberagamaan
yang ada di Jawa, C Geertz (1981) melalui penelitiannya di Mojokerto
menghasilkan sebuah konsep keberagamaan masyarakat yang bersifat abangan,
santri, dan priayi. Ketiganya merupakan akumulasi dari hasil akulturasi budaya
lokal masyarakat, Hidhu-Buddha dengan nilai-nilai Islam. Pola interaksi antara
budaya lokal dan nilai Islam menjadikan Islam warna-warni. Nyadran merupakan
ekspresi dan ungkapan kesalehan sosial masyarakat di mana rasa gotong- royong,
solidaritas, dan kebersamaan menjadi pola utama dari tradisi ini. Ungkapan ini
pada akhirnya akan menghasilkan sebuah tata hubungan vertikal-horizontal yang
lebih intim.
Dalam konteks ini, maka nyadran akan dapat meningkatkan pola hubungan
dengan Tuhan dan masyarakat (sosial), sehingga akhirnya akan meningkatkan
pengembangan kebudayaan dan tradisi yang sudah berkembang menjadi lebih
lestari. Dalam konteks sosial dan budaya, nyadran dapat dijadikan sebagai
wahana dan medium perekat sosial, sarana membangun jati diri bangsa, rasa
kebangsaan dan nasionalisme (Gatot Marsono). Dalam prosesi ritual atau tradisi
nyadran kita akan berkumpul bersama tanpa ada sekat-sekat dalam kelas sosial
dan status sosial, tanpa ada perbedaan agama dan keyakinan, golongan ataupun
partai.
Nyadran menjadi ajang untuk berbaur dengan masyarakat, saling mengasihi,
saling menyayangi satu sama lain. Nuansa kedamaian, humanitas dan familiar
sangat kental terasa. Apabila nyadran ditingkatkan kualitas jalinan sosialnya,
rasanya Indonesia ini menjadi benar-benar rukun, ayom-ayem, dan tenteram.
Nyadran dalam konteks Indonesia saat ini telah menjelma sebagai refleksi,
wisata rohani kelompok masyarakat di tengah kesibukan sehari-hari. Masyarakat,
yang disibukkan dengan aktivitas kerja yang banyak menyedot tenaga sekaligus
(terkadang) sampai mengabaikan religiusitas, melalui nyadran, seakan tersentak
kesadaran hati nuraninya untuk kembali bersentuhan dan bercengkrama dengan
nilai-nilai agama: Tuhan.
Bagi orang jawa, jawa tengah terutama, mungkin tidak asing dengan budaya
nyadran. Ada 2 kegiatan utama dalam budaya nyadran:
·
Besik kubur
(bersih-bersih kuburan)
·
Sanja (silaturrahim)
Budaya nyadran ini dilaksankan pada minggu terahir ‘sasi ruwah’ atau dalam
kalender hijriyah namanya sya’ban, beberapa hari menjelang ‘sasi poso’
(ramadlan). Ada yang mengambil hari jum’at terahir sebelum ramadlan, tapi ada
juga yang menentukan pada tanggal-tanggal tertentu di ‘sasi ruwah’.
Konon katanya budaya ini di cetuskan oleh sunan Kalijaga yang memang sering
melakukan akulturasi budaya-budaya jawa pada saat itu yang didominasi budaya
hindu dengan islam. Kata nyadran sendiri berasal dari bahasa arab ‘shodrun’
yang artinya secara bahasa adalah dada, sedangkan secara istilah yang dimaksud
dada disini adalah hati yang berada di balik dada. Maksudnya, budaya nyadran
ini dilakukan adalah sebagai sarana untuk membersihkan dan menata kembali hati
agar siap untuk menghadapi bulan yang agung, bulan yang suci, bulan dimana
dibuka pintu-pintu syurga, ditutup pintu-pintu neraka dan dibelenggunya para
syeitan yang selalu menjadi musuh nyata bagi manusia.
2. Kegiatan-kegiatan pada budaya nyadran
2. Kegiatan-kegiatan pada budaya nyadran
BESIK KUBUR Dari Buraidah, Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Sesungguhnya dahulu saya melarang kamu ziarah ke kubur. Kemudian
Muhammad telah mendapat izin berziarah ke kubur ibunya. Maka berziarahlah kamu,
karena sesungguhnya ziarah itu mengingatkan kepada hari akhirat." (HR.
Muslim, Abu Daud, dan Tirmidzi).
Dalam riwayat lain ‘karena sesungguhnya Ziarah itu mengingatkan kepada
kematian’. Bukankah kita diperintahkan memeperbanyak dzikrul maut (mengingat
mati)? Karena dengan dzikrul maut, kita akan semakin menyadari siapa diri kita
dan bagaimana seharusnya kita membawa diri. Dengan dzikrul maut kita akan
semakin dekat dengan Allah SWT.
Dengan mengingat hari akhirat kita akan sadar, bahwa apapun yang kita
lakukan di dunia ini akan ada perhitungan di hari akhir nanti. Jika kita
menanam kebaikan, kebaikanlah yang akan kita tuai, sebaliknya begitu juga kalau
kita menanam keburukan, maka buruklah yang kita tuai.
Itulah tujuan mulia yang ada pada ziarah kubur dan itu pula salah satu
tujuan di balik kegiatan besik kubur, ‘DZIKRUL MAUT’
SANJA (SILATURRAHIM)
“Maukah kalian aku tunjukkan akhlak yang paling mulia di dunia dan
diakhirat? Memberi maaf orang yang mendzalimimu, memberi orang yang
menghalangimu dan menyambung silaturrahim orang yang memutuskanmu” (HR.
Baihaqi)
“Maukah kalian aku tunjukkan amal yang lebih besar pahalanya daripada salat
dan saum?” Sahabat menjawab, “Tentu saja!” Rasulullah pun kemudian menjelaskan,
“Engkau damaikan yang bertengkar, menyambungkan persaudaraan yang terputus,
mempertemukan kembali saudara-saudara yang terpisah, menjembatani berbagai
kelompok dalam Islam, dan mengukuhkan ukhuwah di antara mereka, (semua itu)
adalah amal saleh yang besar pahalanya. Barangsiapa yang ingin dipanjangkan
usianya dan dibanyakkan rezekinya, hendaklah ia menyambungkan tali
persaudaraan” (HR. Bukhari-Muslim).
Dalam budaya nyadran, setelah besik kubur, biasanya orang-orang akan
kembali kerumah masing-masing, setelah itu bersama-sama keluarga akan melakukan
silaturrahim pada tetangga-tetangga dan kerabat-kerabat yang lebih tua scara
nasab maupun secara usia. Tujuan silaturrahim ini, selain mempererat
persaudaraan adalah untuk meminta maaf atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan
baik sengaja maupun tidak disengaja, sehingga dalam bulan suci ramadlan nanti
diri merekapun juga suci, telah bersih dengan ampunan Allah dan maaf dari
sesama manusia.
Selain itu dalam kegiatan sanja ini juga ada unsur memuliakan tetamu atau
tetangga-tetangga yang datang untuk silaturrahim dengan jamuan-jamuan yang
istimewa. Bukankah rosul juga berpesan dalam haditsnya “Dari Abu Hurairah
radhiallahuanhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia berkata baik atau
diam, siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia menghormati
tetangganya dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka
hendaklah dia memuliakan tamunya” (HR. Bukhori dan Muslim).
POSITIFNYA:
Untuk mengajak masyarakat untuk seslalu mengenang para leluhurnya dan
memberikan contoh kepada masyarakat bahwa manusia pada akhirnya akan meninggal
seperti itu. Maka dari itu adanya tradisi nyadran ini untuk mengajak masyarakat
bersilaturahim kepada leluhurnya. Disamping itu pada jaman agama hindhu-budha
sesaji nyadran itu semua makanan selalu di tinggal begitu saja karena mereka
beranggapan bahwa leluhurnya yang akan menghabiskan makanan itu setelah islam
masuk di indonesia pada jaman para wali tradisi nyadran atau sesaji tidak di
hilangkan, tetapi masyarakat diajaknya berdoa bersama untuk mendoakan para
leluhur dan makanan sesaji itu dapat dimakan bersama-sama. Mulai saat itu
tradisi nyadran masih dilaksanakan masyarakat jawa pada umumnya pada hari-hari
tertentu. Disamping kita tidak melupakan para leluhur tetapi kita tidak
menyia-nyiakan makanan sesaji.
NEGATIFNYA:
Budaya nyadran biasanya warga membiasakn diri membawa berbagai jenis
makanan ke lokasi pemakaman. Pada tradisi di daerah kami makanan itu di
letakkan di atas daun pisang yang tanpa alas. Sambil menunggu acara di mulai
dan doa-doa disitu makanan banyak dikerumunin lalat dari segi kesehatan makanan
yang di kerumuni lalat jelas-jelas tidak sehat dan bagi oang yang bertuas
membagi-bagikan makanan belum tentu tangannya bersih. Apalagi saat berebut
makanan,belum tentu tangan-tangan mereka bersih. Di saat mereka mengunsumsi
makanan tersebut dapat berakibat sakit perut yang mungkin bisa membahayakan
tubuh. Perlu diketahui kalau makanan itu tidak sehat, mengapa orang-orang masih
mau memakannya dan itu hanya kena pengaruh adat istiadat, bahwasanya makanan
yang sudah mengandung doa itu enak,aman tetapi di balik itu banyak penyakit
yang mengancam dan orang-orang itu tanpa memikirkan akibatnya.
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Tradisi nyadran adalah Tradisi yang tidak harus di tinggalkan karena
tradisi nyadran untuk mengajak masyarakat berbaur, besatu, dan menjalin
silaturahim antar sesama manusia, leluhur. Menurut tradisi nyadran saat ini
yang dilakukan masyarakat adalah tradisi yang dilaksanakan pada zaman wali
songo selain mengajak masyarakat untuk sialaturahim tapi juga untuk menjunjung
tinggi nilai-nilai keagamaan. Sehingga pola pikir manusia tidak menganggapnya
sesuatu yang biasa, tetapi tradisi nyadran adalah sesuatu tradisi yang
mempunyai sakral.
2.
Saran
Untuk menjaga kesetabialan kepada masyarakat dalam menjalankan tradisi
nyadran maka setiap menjelang bulan Ramadhan, yaitu Sya'ban atau Ruwah jangan
melupakan, karena itu untuk menjaga melestarikan yang diperuntukan bagi
penduduk terutama yang beragama Islam. Maka dari itu rasa saling memiliki dan
tanggung jawab diterapkan oleh masyarakat Islam sejak kecil, untuk selalu
mengingat dan bersilaturahim kepada para leluhurnya.
Daftar Pustaka
No comments:
Post a Comment