TAHLIL DALAM ISLAM
Diajukan untuk memenuhi salah satu
tugas mata pelajaran
Sejarah Kebudayaan Islam
Di Susun Oleh :
SRI NURLATIFAH
Kelas IX - E
PEMERINTAH
KABUPATEN GARUT
DEPARTEMEN AGAMA
MTsN 3 GARUT
2016
KATA PENGANTAR
Syukur
alhamdulillah, kami haturkan ke hadirat Allah SWT, yang telah memberi
taufiq, hidayah dan inayah-Nya kepada kita semua. Shalawat serta salam semoga
senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW, yang telah menunjukkan
kita jalan yang lurus (Agama Islam) yang diridhai Allah SWT, sehingga penulisan
karya tulis yang berjudul “ Tahlil Dalam Islam ” ini dapat terselesaikan. Karya
tulis ini diajukan dalam rangka memenuhi salah satu tugas yang diberikan pada
mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam.
Karya tulis
yang ditulis dengan keterbatasan pengetahuan dan kemampuan ini, tentu tidak
luput dari kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, oleh karena ituselalu terbuka
bagi adanya kritik dan saran serta penyempurnaan. Namun demikian penulis akan
terus mencoba dan berusaha agar pada waktu yang akan datang dapat lebih
menyempurnakan pengetahuan penulis di bidang ilmu agama.
Dalam proses
penyusunan karya tulis ini penulis banyak menerima bantuan perhatian dari
banyak pihak. Terima kasih yang dalam penulis sampaikan kepada mereka yang
tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu, semoga Allah SWT. Melimpahkan
berkat serta karunia-Nya kepada mereka sekalian. Amin.
Akhir kata
semoga karya tulis ini dapat bermanfaat
bagi para pembaca.
Garut,
.....................2016
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ………………………………………………..............................i
Daftar Isi
………………………………………………………...........................ii
Bab I. Pendahuluan
…………………………………………..............................1
Bab II. Pembahasan …………………………………………..............................2
Bab III. Penutup ……………………………………………….
...........................7
Daftar Pustaka ………………………………………………...............................8
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Tahlilan
merupakan tradisi yg dilakukan sebagian umat muslim khususnya di Indonesia,akan
tetapi banyak masyarakat awam yg belum tahu mengenai apa sebenarnya makna
tahlilan itu sendiri. Menurut sebagian umat islam di Indonesia tahlilan
merupakan konsep ibadah bahwa pahala dari bacaan mereka akan sampai kepada si
mayat yg akan mendapat pahala atau logikanya seperti ini kita yang
beramal,orang lain (si mayat) yang mendapat pahala. Padahal,dengan jelas
rasullulah menegaskan jika manusia meninggal akan terputus amalannya kecuali 3
hal yaitu sedekah jariyah,ilmu yang bermanfaat dan anak yang sholeh yang
mendoakannya.
B. Masalah
1. Pandangan muhammadiyah
mengenai tradisi tahlilan setelah orang meninggal
2. Pandangan
NU mengenai tradisi tahlilan setelah orang meninggal
3. Akibat yang ditimbulkan
dalam melakukan tradisi tahlilan setelah orang meninggal
4.
Dalil mengenai tahlilan
5.
Hukum tahlilan
C. Tujuan
Untuk
mengetahui makna tahlilan yang menjadi tradisi sebagian umat muslim di
Indonesia dan berusaha mengajak masyarakat awam untuk meninggalkan tradisi ini
dengan cara menjelaskan apa itu makna tahlilan yang sebenarnya.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pandangan
Muhammadiyah Mengenai Tradisi Tahlilan Setelah Orang Meninggal
Muhammadiyah,
mengatakan bahwa Tahlilan (Selamatan Kematian) adalah perkara bid'ah, dan harus
ditinggalkan. Dari Thalhah: "Sahabat Jarir mendatangi sahabat Umar, Umar
berkata: Apakah kamu sekalian suka meratapi mayat? Jarir menjawab: Tidak, Umar
berkata: Apakah di antara wanita-wanita kalian semua suka berkumpul di rumah
keluarga mayit dan memakan hidangannya? Jarir menjawab: Ya, Umar berkata: Hal
itu sama dengan meratap". (al-Mashnaf ibn Aby Syaibah (Riyad: Maktabah
al-Rasyad, 1409), juz II hal 487) dari Sa'ied bin Jabir dan dari Khaban
al-Bukhtary, kemudian dikeluarkan pula oleh Abd al-Razaq: "Merupakan
perbuatan orang-orang jahiliyyah niyahah , hidangan dari keluarga mayit, dan
menginapnya para wanita di rumah keluarga mayit". (al-Mashnaf Abd al-Razaq
al-Shan'any (Beirut: al-Maktab al- Islamy, 1403) juz III, hal 550. dikeluarkan
pula oleh Ibn Abi Syaibah dengan lafazh berbeda melalui sanad Fudhalah bin
Hashien, Abd al-Kariem, Sa'ied bin Jabbier) Dari Ibn Aby Syaibah al-Kufy:
"Telah berbicara kepadaku Yan'aqid bin Isa dari Tsabit dari Qais, beliau
berkata: saya melihat Umar bin Abdul Aziz melarang keluarga mayit mengadakan
perkumpulan, kemudian berkata: kalian akan mendapat bencana dan akan merugi".
Syekh Nawawi
al-Bantani, Syekh Arsyad al-Banjarydan Syekh Nuruddin ar- Raniry yang merupakan peletak
dasar-dasar pesantren di Indonesia pun masih berpegang kuat dalam menganggap
buruknya selamatan kematian itu. “Shadaqah untuk mayit, apabila sesuai dengan
tuntunan syara' adalah dianjurkan, namun tidak boleh dikaitkan dengan hari ke
tujuh atau hari- hari lainnya, sementara menurut Syaikh Yusuf, telah berjalan
kebiasaan di antara orang-orang yang melakukan shadaqah untuk mayit dengan
dikaitkan terhadap hari ketiga dari kematiannya, atau hari ke tujuh, atau
keduapuluh, atau keempatpuluh, atau keseratus dan sesudahnya hingga dibiasakan
tiap tahun dari kematiannya, padahal hal tersebut hukumnya makruh. Demikian
pula makruh hukumnya menghidangkan makanan yang ditujukan bagi orang-orang yang
berkumpul pada malam penguburan mayit (biasa disebut al-wahsyah), bahkan haram
hukumnya biayanya berasal dari harta anak yatim”. (an-Nawawy al-Bantani,
Nihayah al-Zein fi Irsyad al-Mubtadi'ien (Beirut: Dar al-Fikr) hal 281).
Imam Nawawi
mengatakan bahwa penyediaan hidangan makanan oleh keluarga si mayit dan
berkumpulnya orang banyak di situ tidak ada nashnya sama sekali, yang jelas itu
adalah bid'ah yang tidak disunatkan (Al Majmu' Syarah Muhadzab, juz 5 hal 286).
Mestinya
tetangga yang meringankan beban keluarga si mayit dengan membuatkan makanan
untuk keluarga si mayit, bukan malah membebani keluarga si mayit untuk memberi
makan orang banyak yang berkumpul di rumahnya. Bahkan hal tersebut dilakukan
tidak hanya sekali tetapi berulang, seperti hitungan tujuh, 40, 100, 1000 hari
dan lainnya.
Lalu,
yang jadi pertanyaan adalah, mengapa harus tujuh, 40, 100, atau 1000 hari?
Dalam Islam tidak ada penetapan yang demikian. Maka satu-satunya alasan yang
tepat adalah hal ini merupakan tradisi yang berasal di luar konteks Islam.
2. Hakikat Tahlil
Berdasarkan Pendapat Ulama Nahdatul Ulama (NU)
Kaum muslimin Nahdatul Ulama (NU) mengakui bahwa tahlilan tidak ada dalil
yang menguatkan dalam Al-Quran maupun hadis, namun kenapa mereka masih melaksanakan
acara tahlilan tersebut karena kaum muslimin Nahdatul Ulama mempunyai pendapat
lain bahwa tahlilan dilaksanakan dikeluarga yang meninggal mempunyai
tujuan-tujuan tertentu di antaranya adalah sebagai berikut :
1. Tahlilan
dilakukan untuk menyebar syiar islam, karena sebelum dilakukantahlilan seorang
imam melakukan ceramah keagamaan.
2. Isi dari
tahlilan adalah dzikir dan do’a dengan kata lain melaksanakan tahlilan berarti
mendo’akan kepada yang meninggal dunia.
3. Menghibur
keluarga yang ditinggalkan dengan kata lain, kaum muslimin yang berada di
sekitar rumah yang ditinggal, maka terjalinlah silaturahmi diantara umat islam.
Dari uraian tersebut di atas, bahwa kaum muslimin Nahdatul Ulama (NU)
walaupun tidak ada dalil yang kuat di dalam Al-Quran dan hadis namun
melakanakan acara tahlilan dengan tujuan yang baik dan tidak menyimpang dari
hadis-hadis lainnya.
3. Akibat
Yang Ditimbulkan Dalam Melakukan Tradisi Tahlilan Setelah Orang Meninggal
Mengadakan
perjamuan di rumah keluarga mayat yang sedang berduka cita, berarti telah
melanggar tiga hal :
1. Membebani
keluarga mayat, walaupun tidak meminta untuk menyuguhkan makanan, namun apabila
sudah menjadi kebiasaan, maka keluarga mayat akan menjadi malu apabila tidak
menyuguhkan makanan.
2.
Merepotkan keluarga mayat, sudah kehilangan anggota keluarga yang
dicintai, ditambah pula bebannya.
3. Bertolak
belakang dengan hadits. Menurut hadits justru kita tetangga yang harus
mengirimkan makanan kepada keluarga mayat yang sedang berduka cita, bukan
sebaliknya.
4. Dalil
Mengenai Tahlilan
Dari Abdullah
bin Ja'far, ia berkata: Setelah datang berita kematian Ja'far, Rasulullah
bersabda: "Buatlah makanan untuk keluarga Ja'far, karena telah datang,
kepada mereka sesuatu yang menyusahkan mereka (HR Tirmidzi juz 2, hal 234, dia
berkata hadist ini hasan). Imam Nawawi mengatakan bahwa
penyediaan hidangan makanan oleh keluarga si mayit dan berkumpulnya orang
banyak di situ tidak ada nashnya sama sekali, yang jelas itu adalah bid'ah yang
tidak disunatkan (Al Majmu' Syarah Muhadzab, juz 5 hal 286).
5. Hukum
Tahlilan
Sunnahkah
Tahlilan ? Ternyata ia bukan sunnah Rasul, sebab Rasulullah sendiri belum
pernah mentahlili istri beliau, anak beliau dan para syuhada.
berarti hukumnya bukan Wajib, juga bukanSunnah.
Kalau seandainya hukumnya Mubah,
maka untuk apa dikerjakan, sebab ia tidak mempunyai nilai (tidak ada pahala dan
dosa, kalau dikerjakan atau ditinggalkan). Sudah buang-buang uang dan
buang-buang tenaga, tetapi tidak ada nilainya.
Jadi, tinggal 2 (dua) hukum yang tersisa, yaitu
Makruh dan Haram. Makruh apabila dikerjakan dibenci, apabila ditinggalkan
berpahala. Haram : Dikerjakan berdosa, ditinggalkan berpahala
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pandangan muhammadiyah
tahlilan merupakan sesuatu yang mengandung unsur takhayul,bid’ah dan khurafat
adalah sesuatu yang wajib di tinggalkan karena tidak ada nilainya
atau manfaatnya serta tidak ada dalil dan sunnah rasullah yang mengatakan untuk
melakukan tahlilan setelah orang meninggal.Jadi,kita sebagai umat muslim
hendaknya meninggalkan tradisi seperti ini.
B. Saran
Setelah menguraikan secara
sistematis, penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua. Saran penulis kepada pembaca agar dapat memahami dan mempelajari makalah
ini dengan sebaik mungkin dan dapat menerapkan dan memahami apa itu tahlilan
dan bagaimana cara kita menyikapinya dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
No comments:
Post a Comment