CONTOH MAKALAH FITRAH MANUSIA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-quran
mengisyratkan bahwa kehadiran Tuhan ada dalam diri setiap insan dan bahwa hal
tersebut merupakan fitrah (bawaan) manusia sejak asal kejadiannya.memang ada
ada sat-saat dalam hidup ini singkat atau panjang manusia mengalami keraguan
tersebut dan mengantarnya untuk menolak kehadiran Tuhan dan menanggalkan
kepercayaannya. ini harus diakui bahwa ada beberapa ayat Al-quran yang dapat
dipahami sebagai penjelasan tentang wujud Tuhan, dan ada pula beberapa ayat
yang mengisyratkan adanya segelintir manusia yang ateis. ini disebabkan oleh
kesombongan mereka ketika berhadapan dengan kenyataan yang tidak sesuai dengan
nafsu kotor mereka. Fungsi Al-quran
adalah sebagai mediator antara Tuhan dan alam, termasuk manusia dalam rangka
memperkenalkan dirinya.oleh karena itu dapat dipastikan bahwa Alquran banyak
memuat informasi tentang tuhan dengann menggunakan pendekatan- pendekatan yang
khas.
Konsep fitrah
pada dasarnya mempercayai bahwa arah pergerakan hidup manusia (peserta didik)
secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu taqwa dan Jujur. Peserta
didik pada dasarnya diciptakan dalam keadaan memiliki potensi positif dan ia
dapat bergerak ke arah taqwa. Bila manusia berjalan lurus antara fitrah dan
Allah, maka ia akan menjadi taqwa (sehat, selamat). Bila tidak selaras antara
fitrah dan Allah, maka ia akan berjalan ke pilihan yang sesat (fujur). Secara
fitrah manusia diciptakan dengan penuh cinta, memiliki cinta, namun ia dapat
berkembang ke arah agresi. Akan tetapi implikasi dimaksud dalam penelitian ini
mendapatkan bentuk konsep fitrah sesuai realita yang ada, bahwa nilai-nilai
aktualisasi fungsi konsep fitrah sejalan dengan tujuan pendidikan, baik secara
epistemologi pendidikan, mewujudkan peserta didik yang memiliki potensi
kepribadian muslim yang berorientasi pada aktualisasi konsep fitrah manusia.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari pembuatan makalah ini adalah:
1.
Bagaimana hubungan fitrah manusia dan peran lingkungan dalam pendidikan?
2.
Bagaimana konsep fitrah manusia yang tercantun dalam surat Ar-Rum ayat
30?
C. Tujuan Masalah
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui hubungan
fitrah manusia dan peran lingkungan dalam pendidikan.
2. Untuk mengetahui konsep
fitrah manusia yang tercatum dalam surat Ar-Rum ayat 30.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Surat Ar-Rum Ayat 30
]فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ
حَنِيْفًا فِطْرَتَ اللهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لاَ تَبْدِيْلَ
لِخَلْقِ اللهِ ذَلِكَ الدَّيْنُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ
لاَيَعْلَمُوْنَ[
Hadapkanlah wajahmu dengan lurus pada agama (Allah),
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
Tidak ada perubahan atas fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui. (QS ar-Rum : 30).
Tafsir Ayat
Allah Swt.
berfirman: Fa aqim wajhaka li ad-dîn hanîfâ (Hadapkanlah
wajahmu dengan lurus pada agama Allah). Menurut Mujahid,
Ikrimah, al-Jazairi, Ibnu al-‘Athiyah, Abu al-Qasim al-Kalbi, dan
az-Zuhayli, kata ad-dîn bermakna dîn al-Islâm. Penafsiran
ini sangat tepat, karena khithâb ayat ini ditujukan kepada
Rasulullah saw., tentu agama yang dimaksudkan adalah Islam.
Adapun hanîf, artinya
cenderung pada jalan lurus dan meninggalkan kesesatan. Kata hanîf
tersebut, merupakan hâl (keterangan) bagi adh-dhamîr (kata
ganti) dari kata aqim atau kata al-wajh;
bisa pula merupakan hâl bagi kata ad-dîn. Dengan
demikian, perintah itu mengharuskan untuk menghadapkan wajah pada dîn
al-Islâm dengan pandangan lurus; tidak menoleh ke kiri atau ke kanan,
dan tidak condong pada agama-agama lain yang batil dan menyimpang.Perintah ini
merupakan tamsil untuk menggambarkan sikap penerimaan total terhadap agama ini,
istiqamah di dalamnya, teguh terhadapnya, dan memandangnya amat penting.
Selanjutnya Allah Swt. berfirman: fithrah
Allâh al-latî fathara an-nâs ‘alayhâ (tetaplah atas fitrah Allah yang
telah menciptakan manusia menurut fitrah itu). Secara bahasa,
fithrah berarti al-khilqah (naluri,
pembawaan) dan ath-thabî‘ah (tabiat, karakter) yang diciptakan
Allah Swt. pada manusia.
Menurut sebagian mufasir, kata fithrah
Allâh berarti kecenderungan dan kesediaan manusia terhadap agama yang
haq. Sebab, fitrah manusia diciptakan Allah Swt. untuk cenderung pada tauhid
dan dîn al-Islâmsehingga manusia tidak bisa menolak dan
mengingkarinya.
Sebagian mufassir lainnya seperti
Mujahid, Qatadah, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, dan Ibnu Syihab memaknainya
dengan Islam dan Tauhid. Ditafsirkannya fitrah dengan Islam karena untuk
fitrah itulah manusia diciptakan. Telah ditegaskan bahwa jin dan manusia
diciptakan Allah Swt. untuk beribadah kepada-Nya (QS adz-Dzariyat 56).
Jika dicermati, kedua makna tersebut tampak saling melengkapi.
Harus diingat, kata fithrah
Allâh berkedudukan sebagai maf‘ûl bih (obyek)
dari fi‘il (kata kerja) yang tersembunyi, yakni ilzamû (tetaplah)
atau ittabi‘û (ikutilah). Itu berarti, manusia diperintahkan
untuk mengikuti fitrah Allah itu. Jika demikian, maka fitrah yang dimaksudkan
tentu tidak cukup hanya sebatas keyakinan fitri tentang Tuhan atau
kecenderungan pada tauhid. Fitrah di sini harus diartikan sebagai akidah tauhid
atau dîn al-Islâm itu sendiri. Frasa ini memperkuat perintah
untuk mempertahankan penerimaan total terhadap Islam, tidak condong pada agama
batil lainnya, dan terus memelihara sikap istiqamah terhadap dîn
al-Islâm, dîn al-haq, yang diciptakan Allah Swt. untuk
manusia. Ini sama seperti firman-Nya (yang artinya): Tetaplah kamu pada
jalan yang benar sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang-orang yang
telah taubat beserta kamu. (QS Hud :112).
Allah Swt. berfirman: Lâ
tabdîla li khalqillâh (tidak ada perubahan atas fitrah Allah). Menurut
Ibnu Abbas, Ibrahim an-Nakha'i, Said bin Jubair, Mujahid, Ikrimah, Qatadah,
adh-Dhahak, dan Ibnu Zaid, li khalqillâhmaksudnya adalah li
dînillâh. Kata fithrah sepadan dengan kata al-khilqah.
Jika fitrah dalam ayat ini ditafsirkan sebagai Islam atau dîn Allâh,
maka kata khalq Allâh pun demikian, bisa dimaknai dîn
Allâh.
Allah Swt. memberitakan, tidak ada
perubahan bagi agama yang diciptakan-Nya untuk manusia. Jika Allah Swt. tidak
mengubah agamanya, selayaknya manusia pun tidak mengubah agama-Nya atau
menggantikannya dengan agama lain. Oleh karena itu, menurut sebagian mufassir,
sekalipun berbentuk khabar nafî (berita yang
menafikan), kalimat ini memberikan makna thalab nahî (tuntutan
untuk meninggalkan). Dengan demikian, frasa tersebut dapat diartikan: Janganlah
kamu mengubah ciptaan Allah dan agamanya dengan kemusyrikan; janganlah mengubah
fitrahmu yang asli dengan mengikuti setan dan penyesatannya; dan kembalilah
pada agama fitrah, yakni agama Islam.
Allah Swt. menutup ayat ini dengan
firman-Nya: Dzâlika ad-dîn al-qayyim walâkinna aktsara an-nâs lâ
ya‘lamûn (Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui). Kata al-qayyûm merupakan bentuk mubâlaghah dari
kata al-qiyâm (lurus). Allah Swt. menegaskan, perintah untuk
mengikuti agama tauhid dan berpegang teguh pada syariah dan fitrah yang sehat
itu adalah agama yang lurus; tidak ada kebengkokan dan penyimpangan di
dalamnya.
B.
Memeluk Islam Merupakan Fitrah
Seharusnya
tidak ada keberatan sama sekali bagi manusia untuk memeluk Islam. Sebaliknya, dia
akan merasa berat dan susah ketika harus keluar dari Islam. Pasalnya, memeluk
Islam sesungguhnya merupakan fitrah manusia. Secara tersirat, ayat ini
menegaskan akan realitas tersebut. Para mufassir menafsirkan kata fithrah
Allâh dengan kecenderungan pada akidah tauhid dan Islam, bahkan Islam
itu sendiri.
Pertama:
adanya gharîzah at-tadayyun (naluri beragama) pada diri setiap
manusia sehingga ia bisa merasakan dirinya lemah dan ringkih. Ia membutuhkan
Zat Yang Mahaagung, yang berhak untuk disembah dan dimintai pertolongan.
Karenanya, manusia membutuhkan agama yang menuntun dirinya melakukan
penyembahan (‘ibâdah) terhadap Tuhannya dengan benar.
Kedua: dengan akal
yang diberikan Allah Swt. pada diri setiap manusia, ia mampu memastikan adanya
Tuhan, Pencipta alam semesta. Sebab, keberadaan alam semesta yang lemah,
terbatas, serba kurang, dan saling membutuhkan pasti merupakan makhluk. Hal itu
memastikan adanya al-Khâliq yang menciptakannya. Dengan
demikian, kebutuhan manusia pada agama, selain didorong oleh gharîzah
at-tadayyun, juga oleh kesimpulan akal.
Lebih
jauh, akal manusia juga mampu memilah dan memilih akidah dan agama yang benar.
Akidah batil akan dengan mudah diketahui dan dibantah oleh akal manusia.
Sebaliknya, argumentasi akidah yang haq pasti tak terbantahkan sehingga
memuaskan akal manusia.
Oleh
karena itu, secara fitri manusia membutuhkan akidah dan agama yang haq, agama
yang menenteramkan perasaan sekaligus memuaskan akal. Islamlah satu-satunya
yang haq. Islam dapat memenuhi dahaga naluri beragama manusia dengan benar sehingga
menenteramkannya. Islam juga memuaskan akalnya dengan
argumentasi-argumentasinya yang kokoh dan tak terbantahkan. Dengan
demikian, Islam benar-benar sesuai dengan fitrah dan tabiat manusia. Karena
begitu sesuainya, az-Zamakhsyari dan an-Nasafi menyatakan, "Seandainya
seseorang meninggalkan Islam, mereka tidak akan bisa memilih selain Islam
sebagai agamanya.
Sesungguhnya
bagi manusia, menolak Islam jauh lebih sulit dan berat ketimbang menerimanya.
Sebab, apa pun atau siapa pun lebih mudah memelihara tabiat asli dan jati
dirinya daripada harus mengubahnya.
C.
Pengertian Fitrah
Secara lughatan (etimologi) berasal
dari kosa kata bahasa Arab yakni fa-tha-ra yang berarti “kejadian”, oleh karena
kata fitrah itu berasal dari kata kerja yang berarti menjadikan. Pada
pengertian lain interpretasi fitrah secara etimologis berasal dari kata fathara
yang sepadan dengan kata khalaqa dan anyaa yang artinya mencipta. Biasanya kata
fathara, khalaqa dan ansy’a digunakan dalam Al-Qur’an untuk menunjukkan
pengertian mencipta, menjadikan sesuatu yang sebelumnya belum ada dan masih
merupakan pola dasar yang perlu penyempurnaan. Dalam Kamus al Munjid
diterangkan bahwa makna harfiah dari fitrah adalah al Ibtida’u wa al ikhtira’u,
yakni al shifat allati yattashifu biha kullu maujudin fi awwali zamani
khalqihi. Makna lain adalah shifatu al insani al thabi’iyah. Lain daripada itu
ada yang bermakna al dinu wa al sunnah.
D.
Hubungan Fitrah Dengan Pendidikan Islam dalam al-Quran.
Manusia dalam pandangan Islam adalah
khalifah Allah di muka bumi. Sebagai duta Tuhan, dia memiliki karakteristik
yang multidimensi, yakni pertama, diberi hak untuk mengatur alam ini sesuai
kapasitasnya. Dalam mengemban tugas ini, manusia dibekali wahyu dan kemampuan
mempersepsi, kedua, dia menempati posisi terhormat di antara makhluk Tuhan yang
lain. Anugerah ini diperoleh lewat kedudukan, kualitas dan kekuatan yang
diberikan Tuhan kepadanya, ketiga, dia memiliki peran khusus yang harus
dimainkan di planet ini, yaitu mengembangkan dunia sesuai dasar dan hukum-hukum
yang ditetapkan oleh Tuhan.
Potensi akal secara fitrah mendorong
manusia memahami simbol-simbol, hal-hal yang abstrak, menganalisa,
memperbandingkan maupun membuat kesimpulan dan akhirnya memilih maupun
memisahkan yang benar dan salah. Di samping itu menurut Jalaluddin, akal dapat mendorong
manusia berkreasi dan berinovasi dalam menciptakan kebudayaan serta peradaban.
Manusia dengan kemampuan akalnya mampu menguasai ilmu pengetahuan dan
teknologi, mengubah serta merekayasa lingkungannya, menuju situasi kehidupan
yang lebih baik, aman dan nyaman.
Sebelum terlalu jauh kita mengulas
tentang hubungan konsep fitrah dan hubungannya dengan pendidikan Islam ada
baiknya kita telusuri terlebih dahulu tujuan dari pendidikan Islam secara umum.
Secara general tendensi dari pendidikan Islam itu sendiri adalah mengetahui
hakikat kemanusiaan menurut Islam, yakni nilai-nilai ideal yang diyakini serta
dapat mengangkat harkat dan martabat manusia. Sementara Achmadi meletakkan
keterangan tujuan pendidikan Islam dalam “tiga karakteristik” yakni tujuan
tertinggi/akhir, tujuan umum, tujuan khusus. Tujuan tertinggi adalah bersifat
mutlak, tidak mengalami perubahan karena sesuai dengan konsep Ilahi yang
mengandung kebenaran mutlak dan universal. Tujuan tertinggi/akhir ini pada
dasarnya sesuai dengan tujuan hidup manusia dan peranannya sebagai ciptaan
Allah. Salah satu prilaku itu identitas Islami itu sendiri pada hakikatnya
adalah mengandung nilai prilaku manusia yang didasari atau dijiwai oleh iman dan
taqwa kepada Allah sebagai sumber kekuasaan mutlak yang harus ditaati. Tujuan
selanjutnya adalah tujuan umum yang berbeda substansinya dengan tujuan pertama
yang cenderung mengarah kepada nilai filosofis. Tujuan ini lebih bersifat
empirik dan realistic. Ahmad tafsir mengemukakan tujuan umum bersifat tetap,
berlaku di sepanjang tempat, waktu, dan keadaan. Tujuan umum berfungsi sebagai
arah yang taraf pencapaiannya dapat diukur karena menyangkut perubahan sikap,
perilaku dan kepribadian subjek didik, sehingga mampu menghadirkan dirinya
sebagai sebuah pribadi yang utuh. Itulah yang disebut realisasi diri (self
realization).
Sementara
tujuan khusus merupakan pengkhususan atau operasionalisasi tujuan
tertinggi/akhir dan tujuan umum pendidikan Islam. Tujuan khusus bersifat
relatif sehingga dimungkinkan untuk diadakan perubahan dimana perlu sesuai
dengan tuntutan dan kebutuhan, selama tetap berpijak pada kerangka tujuan
tertinggi/akhir dan umum itu Pengkhususan tujuan pendidikan Islam tersebut
menurut Achmadi didasarkan pada: kultur dan cita-cita suatu bengsa dimana
pendidikan itu diselenggarakan, minat, bakat, dan kesanggupan subjek didil; dan
tuntunan situasi, kondisi pada kurun waktu tertentu.
Konsep fitrah dalam hubungannya dengan
pendidikan Islam mengacu pada tujuan bersama dalam menghadirkan perubahan
tingkah laku, sikap dan kepribadian setelah seseorang mengalami proses
pendidikan. Menjadi masalah adalah bagaimana sifat dan tanda-tanda (indikator)
orang yang beriman dan bertaqwa.
Maka konsep fitrah terhadap pendidikan
Islam dimaksudkan di sini, bahwa seluruh aspek dalam menunjang seseorang
menjadi menusia secara manusiawi adanya penyesuaian akan aktualisasi fitrah-nya
yang diharapkan, yakni pertama, konsep fitrah mempercayai bahwa secara alamiah
manusia itu positif (fitrah), baik secara jasadi, nafsani (kognitif dan
afektif) maupun ruhani (spiritual). Kedua, mengakui bahwa salah satu komponen
terpenting manusia adalah qalbu. Perilaku manusia bergantung pada qalbunya. Di
samping jasad, akal, manusia memiliki qalbu. Dengan qalbu tersebut manusia
dapat mengetahui sesuatu (di luar nalar) berkecenderungan kepada yang benar dan
bukan yang salah (termasuk memiliki kebijaksanaan, kesabaran), dan memiliki
kekuatan mempengaruhi benda dan peristiwa.
Menghubungkan keterangan ini secara
ilmiah dengan adanya teori pendidikan Islam maka secara disiplin ilmu merupakan
konsep pendidikan yang mengandung berbagai teori yang dapat dikembangkan dari
hipotesa-hipotesa yang bersumber dari al Qur’an maupun hadis baik dari segi
sistem, proses, dan produk yang diharapkan mampu membudayakan umat manusia agar
bahagia dan sejahtera dalam hidupnya. Inilah yang disebut secara implikasi konsep fitrah
kecenderungan peserta didik pada yang benar dalam memiliki secara pendekatan
ilmiah kekuatan mempengaruhi benda dan peristiwa. Sedang pendidikan bila
diberikan pengertian dari al-Qur’an maka kalangan pemikir pendidikan Islam
meletakkan pada tiga karakteristik di antaranya rabb, ta’lim, , ta’dib dimaksud
dalam al-Qur’an.
Dari ketiga kata tersebut, Muhammad
Fuad ‘Abd al-Baqy dalam bukunya al-Mu’jam al Mufahras li Alfadz al-Qur’an
al-Karim telah menginformasikan bahwa di dalam al-Qur’an kata Tarbiyah dengan
berbagai kata yang serumpun dengan diulang sebanyak lebih dari 872 kali. Kata
tersebut berakar pada kata rabb. Kata ini sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata
dari al-Raghib al-Ashfahany, pada mulanya berarti al-Tarbiyah yaitu insy’
al-syaihalan fa halun ila hadd al-tamam yang artinya mengembangkan atau
menumbuhkan sesuatu setahap demi tahap sampai pada batas yang sempurna.
E.
Antara Fitrah dan Godaan
Kesesuaian fitrah manusia dengan Islam
juga dijelaskan dalam dalil-dalil naqli. Alah Swt.
berfirman:
]وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِيْ
آدَمَ مِنْ ظُهُوْرِهِمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ
قَالُوْا بَلَى شَهِدْنَا.
“Ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan
keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), "Bukankah Aku ini Tuhanmu?"
Mereka menjawab, "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi
saksi." (QS al-A‘raf : 172).
Allah Swt. juga berfirman di dalam
hadis qudsi:
«وَإِنِّي خَلَقْتُ عِبَادِي حُنَفَاءَ كُلَّهُمْ
وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمْ الشَّيَاطِينُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِينِهِمْ»
Sesungguhnya aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku dalam
keadaan hanif (lurus) semuanya dan sesungguhnya mereka didatangi setan, lalu
setan itu membelokkan mereka dari agama mereka. (HR Muslim).
Rasulullah saw. juga bersabda:
«مَا مِنْ
مَوْلُودٍ إِلاَّ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ
وَيُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ»
Tidak ada seorang anak kecuali dilahirkan dalam keadaan
fitrah. Kemudian kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau
Majusi. (HR al-Bukhari).
Kedua hadis di atas menjelaskan tentang
kondisi awal setiap manusia. Dalam hadis pertama disebutkan, setiap manusia
diciptakan dalam keadaan hanîf, yakni lurus dan tidak condong pada
kesesatan. Adapun dalam hadis kedua dinyatakan, setiap bayi dilahirkan dalam
keadaan fitrah, namun fitrah yang dimaksudkan di sini adalah pengakuan terhadap
Allah Swt.
Hadis pertama di atas
menjelaskan, penyimpangan manusia dari fitrahnya disebabkan oleh bujuk rayu
setan. Hadis kedua menjelaskan, pendidikan yang salah dari orangtua merekalah
yang menjadi faktor penyebab keluarnya manusia dari fitrahnya. Namun
demikian, faktor dalam diri manusia juga turut menjadi penyebabnya.
Bertolak dari paparan di atas, orang
yang menolak Islam benar-benar sangat keterlaluan. Pantaslah jika mereka
mendapatkan siksa yang amat berat dari Allah Swt.
BAB III
PENUTUP
Konsep fitrah
terhadap pendidikan Islam dimaksudkan di sini, bahwa seluruh aspek dalam
menunjang seseorang menjadi menusia secara manusiawi adanya penyesuaian akan
aktualisasi fitrah-nya yang diharapkan, yakni pertama, konsep fitrah
mempercayai bahwa secara alamiah manusia itu positif (fitrah), baik secara
jasadi, nafsani (kognitif dan afektif) maupun ruhani (spiritual). Kedua,
mengakui bahwa salah satu komponen terpenting manusia adalah qalbu. Perilaku
manusia bergantung pada qalbunya. Di samping jasad, akal, manusia memiliki
qalbu. Dengan qalbu tersebut manusia dapat mengetahui sesuatu (di luar nalar)
berkecenderungan kepada yang benar dan bukan yang salah (termasuk memiliki
kebijaksanaan, kesabaran), dan memiliki kekuatan mempengaruhi benda dan
peristiwa.
Daftar Pustaka
As-Suyuti, ad-Durr al-Mantsûr fî at-Tafsîr
al-Ma’tsûr, V/298-299, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1990.
Lihat, Al-Alusi, Rûh al-Ma’âni, XI/40, Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1994.
Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, III/533, Dar
‘Alam al-Kutub, Riyadh. 1997.
al-Baghawi, Ma’âlim
aT-Tanzîl, III/415, Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, Beirut. 1993.
Azl-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, III/463;
an-Nasafi, Madârik at-Tanzîl, II/308.
Badri khaeruman, Memahami Pesan
Al-quran. 2004. Hal. 63.
Az-Zuhayli, at-Tafsîr al-Munîr, XXI/81.
Jamal al-Din
al-Jauzi, Zâd al-Masîr, VI/151; az-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, III/463
Sulaiman al-‘Ajili, al-Futuhât al-Ilâhiyyah, VI/102
No comments:
Post a Comment